Friday, April 30, 2010

Arema Untuk Indonesia

Arema bukan hanya untuk orang Malang, tapi Arema adalah untuk Indonesia
Agak aneh memang, seorang yang lahir dan besar di kota bernama Denpasar yang notabene ibukota provinsi Bali namun sejak kecil telah menjadi seorang Aremania. Itu semua tak lepas dari pengaruh tidak langsung kedua orang tua saya yang memang asli malang. Bapak saya lahir dan besar di Dieng Atas sedangkan Ibu saya bertempat tinggal di daerah panggung. Sejak kecil rutin setiap tahun saya selalu diajak orang tua untuk mudik ke Malang. Sehingga Malang saya anggap sebagai rumah kedua saya.

Dulu saya sangat senang apabila diajak jalan-jalan ke Lembah Dieng, Sengkaling, Songgoriti, Selecta, dan tak lupa Stadion Gajayana.Ya Stadion Gajayana yang dulu menjadi home base tim PS Arema Malang menjadi tempat saya untuk bermain bola dengan Bapak saya. Pernah suatu ketika Bapak saya mengajak saya untuk menonton pertandingan Arema Malang.

Atraksi Yuli Sumpil memimpin Aremania di Stadion Kanjuruhan

Yang namanya anak kecil diajak ke tempata ramai tentu saja senang sekali. Disitulah awal saya mengenal klub sepakbola bernama Arema. Saya melihat gerombolan orang memakai kaus biru-biru beramai-ramai memadati stadion Gajayana lengkap dengan atribut seperti syal, bendera,dll. “Ini orang-orang pada mau ngapain yah??” pikir saya waktu itu.kebetulan dulu saya nonton di bangku VIP bersama Bapak saya, sehingga dengan jelas terpampang ribuan Aremania di depan pandangan saya.

Mereka bernyanyi, bergoyang, bersorak sorai mendukung satu klub, AREMA. Bendera-bendera ukuran besar bergambar kepala singa dengan tulisan-tulisan “Arema,Ongis Nade,Aremania,dll” menghiasi pinggiran tribun. Terjawab sudah jawaban saya, ternyata mereka semua datang kesini lengkap dengan atribut untuk mendukung kesebelasan yang akan saya tonton, Arema Malang.

Selama pertandingan tak henti-hentinya para Aremania menyanyi dan bergoyang. Wow fantastis pikir saya waktu itu. Ternyata gairah masyarakat Malang menonton Arema sangat besar. Saya pun tak henti-hentinya tersenyum dan senang melihat atraksi-atraksi Aremania yang bagi saya itu suatu yang kreatif. Dan akhirnya pertandingan pun berakhir. Saya terkesan dengan pertandingan tadi.

Dan sepulang dari stadion saya merengek ke Bapak saya untuk minta dibelikan kaus Arema. Akhirnya saya pun dibelikan sebuah kaus kain jeruk dengan tulisan Aremania dan ada logo kepala singanya.Saya senang bukan main sampai saat saya sudah pulang ke Bali pun saya selalu memakai kaus Arema itu sebagai kostum kebanggan saat bermain bola dengan kawan-kawan di Bali.

Saya jadi ingat dulu saat saya masih SMP. Saat itu saya masih tinggal di Denpasar dan mengikuti pertandingan-pertandingan Perseden Denpasar di Divisi Utama. Dan saat Arema bertandang ke Stadion Ngurah Rai Denpasar. Saya memakai kembali atribut Aremania saya dan bergabung dengan kawan-kawan Aremania di stadion untuk mendukung Arema.

Namun sayang sekali musim itu Arema harus terdegaradasi bersama Perseden dan Petrokimia Putra ke Divisi 1. Dan akhirnya saya pun beranjak dewasa. Kegilaan saya akan Arema semakin menjadi, hampir tiap saya mudik ke Malang saya selalu membeli kaus Arema. Dari kaus suporter sampai replika kaus Arema saat bertanding menjadi koleksi saya sejak SD.

Puncaknya saat saya memutuskan kuliah di Surabaya. Saya “mbelan-mbelani” berangkat sendirian bersepeda motor ke Malang hanya untuk menonton Arema Malang. Saya masih ingat pertandingan pertama yang saya tonton saat itu adalah Arema vs Persiwa yang berakhir dengan skor 2-0 untuk kemenangan Arema Malang.

Selanjutnya hampir tiap pertandingan Arema tidak pernah saya lewatkan. Soal kebiasaan mengoleksi kaus Arema? Jangan ditanya.Hampir tiap saya menonton Arema selalu saya sempatkan membeli pernik Arema. Toko yang menjadi langganan saya itu yang ada di dekat toko sport “Rachman Sport”. Saat Arema mengadakan tour ke Bali pada tahun 2008 untuk lawan Persegi Bali FC Gianyar kebetulan saat itu saya sedang berlibur di Bali. Saya pun berangkat dengan pasangan saya ke stadion Kapten Dipta.

Dari pagi hujan terus mengguyur kota denpasar dan sekitarnya namun sama sekali tak menyurutkan niat saya untuk melihat tim kesayangan saya berlaga.Berbekal jas hujan sobek saya nekat berangkat ke Stadion,pikir saya emang ada yah Aremania yang mau jauh-jauh datang ke Gianyar?

Ternyata dugaan saya meleset, sepanjang jalan menuju stadion terlihat iring-iringan para Aremania lengkap dengan atribut dan kaus berlogo kepala singa. Dan sampai stadion saya makin tercengang melihat hampir seperempat stadion dipenuhi Aremania, benar-benar serasa main di kandang. Hujan tetap tidak berhenti namun tak menyurutkan semangat Aremania bernyanyi dan mendukung Arema berlaga. Skor berakhir 0-0 dan sempat terjadi ketegangan saat itu dengan suporter tuan rumah namun tidak ada kerusakan yang berarti juga tidak menimbulkan jatuhnya korban jiwa.

Sampai saat ini pun saya masih rajin datang ke stadion untuk bersama-sama Aremania lainnya bernyanyi dan bergoyang untuk mendukung satu nama.Arema. Bersama-sama teman-teman dari Aremania Kaskus yang membuat saya akhirnya tidak sendirian lagi ke stadion.Dan bisa beriring-iringan berangkat ke Stadion.

Banyak orang bertanya.”kamu kan orang Bali,ngapain sih suka banget sama Arema??”.Saya hanya menjawab.”Arema bukan cuman untuk orang Malang saja.Arema itu untuk seluruh Indonesia titik.”. Saya pernah nonton pertandingan Perseden Denpasar di GOR Ngurah Rai, pertandingan Persegi Gianyar di Kapten Dipta,pertandingan Persik Kediri di Brawijaya, pertandingan Persib Bandung saat bermain di Siliwangi. juga pertandingan Persebaya Surabaya tapi di Gelora Delta Sidoarjo.

Namun tak ada yang mengena di hati saya.Bagi saya Arema & Aremania-lah yang punya spirit yang mampu membuat orang-orang luar Malang seperti saya jatuh hati kepada Arema.

Dan saat ini, dimana kiri kanan saya Bonekmania semua. Saya tetap lantang bersuara. SAYA INI AREMANIA!SALAM SATU JIWA! Meski semua orang bersuara sumbang untuk Arema namun suara saya akan tetap selalu merdu untuk kejayaan AREMA INDONESIA.

Salam Satu Jiwa Arema Indonesia
artikel by Angga Kusbandrio, Denpasar, Bali
sumber:disini
Read More...

Mengenal Sang Dirigen- Aremania – Yuli Sumpil

Bagi yang belum mengenal Yuli Sumpil, tokoh dalam The Conductors, film dokumenter teranyar karya Andi Bachtiar Yusuf. Berikut ini adalah tulisan Antariksa yang ada di aremania.web.id yang mudah-mudahan bisa memberikan informasi tentang sosok dan keseharian Yuli Sumpil.

The Conductors berusaha untuk mengungkap sisi lain dari Addie MS (Twilite Orchestra), AG Sudibyo (Paduan Suara Mahasiswa UI) dan Yuli “Sumpil” (Aremania), menampilkan kiat dan semangat dari anak manusia yang sangat mencintai profesinya tersebut. Film yang telah diputar pada ajang Jakarta International Film Festival (JiFFest) 2007 lalu tersebut merupakan karya dokumenter kedua pria yang lebih akrab dipanggil “Ucup” setelah The Jak (2007). Dan setelah premiere di Jakarta, akan diputar di Bandung, Malang, Semarang, Yogyakarta, Jember, Purwokerto, Pusan (Korea Selatan).
“Cita-cita saya, pagar besi pembatas tribun dengan lapangan nanti tidak perlu ada lagi. Jadi kita menonton sepakbola dengan enak, tidak ada perkelahian, tidak ada suporter yang mengganggu pemain. Saya juga ingin semua golongan bisa bersatu di sini. Kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, Cina atau bukan Cina, pejabat atau orang biasa, Islam atau Kristen, di sini semuanya bisa sama,”
Laki-laki muda itu sudah menjadi suporter fanatik klub sepakbola kotanya sejak masih anak-anak. Ia lahir dan tinggal di Malang, Jawa Timur, dan klub sepakbola itu bernama Arema (Arek Malang). Yuli Sugianto adalah salah satu suporter paling populer di kalangan Aremania, sebutan bagi suporter Arema. Bersama suporter Persebaya (Persatuan Sepakbola Surabaya) yang disebut Bonek (bandha nekat, modal nekat), Aremania terkenal sebagai suporter paling fanatik dalam sejarah sepakbola Indonesia.

Yuli berkisah sudah sejak anak-anak ia selalu berusaha melakukan apa saja demi menonton pertandingan Arema. Semasa duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) misalnya, jika tak ingin terlambat datang ke stadion, ia harus membolos sekolah sore. Dan jika pertandingan berlangsung di luar kota, itu berarti ia harus siap sejak pagi, bersiap menunggu di pinggir jalan raya, dan siap melompat ke dalam bak truk atau mobil angkutan barang lain untuk menuju kota tujuan.

Sekarang Yuli adalah dirigen Aremania. Seorang dirigen, layaknya seorang konduktor dalam pertunjukan orkestra, adalah orang yang memimpin para suporter untuk menyanyi dan menari dalam sebuah pertandingan sepakbola. Seorang dirigen menentukan lagu mana yang harus dinyanyikan dan gerakan tubuh macam apa yang mesti dilakukan. Aremania punya dua dirigen. Selain Yuli juga ada Yosep, yang biasa dipanggil Kepet.
Di kalangan Aremania, dirigen dipilih dengan cara yang tidak terlalu rumit. Tidak ada pemungutan sura yang berlangsung dengan ketat. Seseorang dipilih menjadi dirigen karena penampilan fisiknya yang menarik (ceria, nyentrik, dll.), kemampuannya berkomunikasi dengan suporter lain, dan kemampuannya membangkitkan semangat suporter untuk terus memotivasi tim yang didukungnya. Oleh sejumlah suporter seorang dirigen ditunjuk dengan cara yang sulit dijelaskan, hampir kebetulan saja, sebelum sebuah pertandingan sepakbola dimainkan. Tetapi begitu seorang dirigen terpilih, jabatan itu akan disandangnya terus, tanpa batas waktu yang jelas, sampai ia mengundurkan diri atau kehilangan kemampuan untuk memimpin. Begitulah, tujuh tahun lalu dan Kepet terpilih begitu saja sebagai dirigen Aremania. Dan hanya kepada mereka berdualah 30 ribuan Aremania mau tunduk. “Mungkin saya dipilih karena berambut gondrong dan suka menari sambil memanjat pagar pembatas lapangan. Kalau Kepet mungkin karena ia punya banyak teman. Ia kan tinggal dekat stadion,” kata Yuli.

Di Stadion Gajayana Malang, markas Arema, Yuli dan Kepet mesti berbagi wilayah kekuasaan. Wilayah kekuasaan Yuli adalah tribun bagian timur, tepat di bawah papan skor. Wilayah Kepet adalah tribun bagian selatan. Sementara tribun VIP dibiarkan tanpa dirigen.

Pertandingan sepakbola biasanya dimulai jam 4 sore, tetapi para suporter sudah memadati stadion sejak 2 jam sebelumnya. Mereka memainkan genderang, terompet, menyanyi, menari dan menyulut kembang api dan petasan. Sebelum dirigen datang, atraksi-atraksi ini berlangsung sporadis, dalam kelompok-kelompok kecil, dan tidak kompak. Tetapi begitu mereka melihat kedatangan Yuli dan Kepet, secara otomatis semuanya akan bertepuk tangan dan bertempik-sorak seperti menyambut kedatangan presiden mereka. Yuli dan Kepet tersenyum, dan begitu mereka melambaikan tangan, ribuan suporter ini menjadi lebih tenang. Semua musik, lagu, dan tarian dihentikan. Yuli dan Kepet akan segera menaiki singgasana mereka, yaitu pagar besi pembatas lapangan setinggi 2 meter. Mereka mulai menjalankan tugasnya; sambil berdiri di atas pagar menghadap ke tribun penonton mereka menggerakkan tangan dan kaki, memiringkan dan memutar tubuhnya ke kiri, kanan, depan, dan belakang sebagai alat untuk memberi aba-aba. Ribuan penonton menjadi kompak dan memainkan musik, menyanyi, dan menari. Semuanya mengikuti aba-aba dan contoh gerakan yang dilakukan Yuli dan Kepet.

Sepuluh menit sebelum pertandingan dimulai, Yuli dan Kepet memberi aba-aba berhenti. Kalau mereka sudah menaikkan tangan kanan ke atas, itu artinya tarian akan berhenti dan para suporter akan segera menyanyikan lagu Padamu Negeri.[1] Para pemain memasuki lapangan, wasit meniup peluit, pertandingan segera dimulai, tarian dan lagu dimainkan kembali. Karena atraksi-atraksinya yang menarik, Arema pernah memenangi penghargaan suporter terbaik dari Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI).

Satu-satunya kelompok suporter besar yang tetap tinggal “liar” adalah Aremania. Klub dan Pemda tidak memberi bantuan dana atau berkeinginan membuat organisasi formal untuk suporter. Para suporter tetap membuat kelompoknya sendiri dengan keinginan mereka sendiri, kelompok-kelompok ini mereka sebut dengan Korwil (Koordinator Wiyalah). Di Malang sekarang ini sekurang-kurangnya ada 125 Korwil Aremania. Tiap Korwil punya seorang ketua yang hanya bertugas mengumpulkan suporter di wilayahnya menjelang Arema bertanding. “Tidak perlu organisasi-organisasian. Kalau ada organisasi itu repot, nanti malah diatur-atur, disuruh begini, disuruh begitu, bayar ini, bayar itu. Apalagi kalau sampai dikait-kaitkan sama partai politik segala,” kata Ponidi—dikenal sebagai Tembel—Ketua Korwil Stasiun. Meski tiap Korwil punya ciri khas sendiri, yang ditandai dengan bendera, spanduk, seragam, dan dandanannya, komando di stadion tetap ada di tangan dirigen. Hanya Yuli dan Kepet yang mampu mengatur dan menenangkan merea. “Pengurus klub atau walikota sekalipun tidak akan bisa ada artinya bagi suporter. Dia tak akan mampu mengatur 30 ribu orang. Tapi begitu Yuli atau Kepet yang ngomong, ya semuanya manut,” jelas Tembel.

Yuli adalah pemuda dari keluarga miskin yang tinggal di sebuah kampung di bagian timur Malang. Sebelum menjadi dirigen Aremania, sejak lulus dari sebuah Madarasah Aliyah, Yuli bekerja sebagai pencuci mikrolet—angkutan umum dalam kota. Ia biasa bekerja dari jam 4 sore hingga jam 12 malam, dari pekerjaannya, dalam sehari Yuli bisa memeroleh 10 ribu hingga 15 ribu rupiah.

Sejak menjadi dirigen, Yuli praktis berhenti bekerja. Menurutnya pilihan ini adalah saran orangtuanya yang tak tahan melihat Yuli menghabiskan hampir semua waktunya untuk mengurusi sepakbola, sepakbola, dan sepakbola. Ia kini menggantungkan hidupnya pada orangtuanya. Bapaknya, Asip, bekerja sebagai tukang kayu panggilan. Semenntara ibunya, Juwariyah, mendapatkan uang dengan menjual makanan rumahan bikinannya ke warung-warung di sekitar kampungnya. Yuli mengatakan setiap hari mendapat uang saku antara 500 hingga 2000 rupiah dari bapak atau ibunya. “Yul, ini ada sedikit uang untuk beli rokok,” kata Yuli menirukan ibunya.

Jika Liga sedang berjalan—yang berarti setiap minggu hampir selalu saja ada pertandingan sepakbola—Yuli harus menyisihkan sedikit jatah uang rokoknya agar bisa membeli tikat dan masuk stadion. Tetapi kalau kondisi keuangan keluarganya yang benar-benar sulit, Yuli kadang terpaksa menjual asesoris-asesoris suporternya untuk bisa membeli tiket. Tak jarang ia harus merelakan kaus atau syal kesayangannya dengan harga 10 hingga 20 ribu rupiah. “Sebenarnya sedih juga, karena barang-barang itu punya nilai sejarah bagi saya. Tapi saya akan lebih sedih lagi kalau tidak bisa masuk ke stadion dan menjadi dirigen bagi teman-teman,” katanya. Kadang-kadang Yuli juga membantu menjual tiket pertandingan. Beberapa hari sebelum pertandingan Yuli akan mengambil tiket di Mess Arema. Untuk tiap tiket seharga 10 ribu rupiah bisa dijualnya ia mendapat bagian 10 persen atau seribu rupiah. Agar bisa nonton pertandingan sekurang-kurangnya Yuli harus bisa menjual 10 tiket.

Seperti kebanyakan pemuda kota yang tinggal di kampung padat dan miskin, Yuli gemar sepakbola dan sering terlibat tawuran (perkelahian massal) antarkampung. “Buat saya dulu tawuran adalah bagian dari sepakbola. Sepakbola nggak ada tawuran seperti sepakbola banci,” kata Yuli. Ia kemudian bercerita, beberapa tahun lalu—sebelum menjadi dirigen—bersama 30 temannya ia datang ke Jakarta untuk melihat Arema bertanding. Ia berangkat dari rumah dengan sudah menyiapkan sebilah pedang. “Waktu itu, ini perlengkapan standar,” katanya. Di Jakarta ia terlibat bentrokan dengan kelompok Bonek di depan Stasiun Pasar Senen. Mula-mula hanya saling melempar batu, tapi kemudian menjadi saling kejar, memukul dengan potongan kayu atau besi, bahkan hingga sabetan pedang. “Yang saya ingat, keesokan harinya saya baca di koran ternyata ada 3 orang Bonek yang mati. Sementara kami semua selamat,” katanya.

Yuli kini ingin melupakan masa lalunya. Di ruang tamu rumahnya yang sempit, ia memasang fotonya ketika bersalaman dengan Ketua PSSI Agum Gumelar. Di foto itu, Yuli—berambut gondrong dan berkaus Arema warna biru—tampak tersenyum bangga. Katanya, “Saya diundang di acara pembukaan Liga Indonesia dan dikirimi tiket pesawat untuk hadir mewakili suporter”.

Karena tak bekerja, sehari-hari Yuli menghabiskan waktunya dengan nongkrong sja. Saya ingat waktu bertemu dengannya pertama kali tiga tahun lalu, ia tengah nongkrong di Salon Cimenk yang terletak beberapa ratus meter saja dari rumahnya. Didik, pemilik salon ini, adalah teman Yuli sesama Aremania. Ketika saya datang rupanya mereka sedang membicarakan rencana menjahit pakaian dirigen baru buat Yuli. Untuk urusan dandanan Yuli mengaku memang sering dibantu Didik. Sekali mencat rambut ia cuma akan membayar 10 atau 20 ribu. Tapi Yuli lebih sering tak membayar, karena ia memang jarang punya cukup uang. Suatu ketika karena merasa sungkan dan terlalu sering tidak membayar, sebelum berangkat ke stadion Yuli pernah mencat saja rambut gondrongnya dengan cat kayu, warna biru. Jelasnya, “Agar mudah membersihkannya, saya lumuri dulu rambut saya dengan minyak goreng, setelah itu baru saya cat. Saya ingin selalu bisa menarik perhatian di lapangan.”

Yuli punya cukup banyak koleksi asesoris Aremania. Dengan bersemangat ia menunjukkan koleksi kaus dan pakaian dirigennya pada saya. Yuli punya macam-macam kaus Arema, dari kaus seperti yang dipakai para pemain—warna biru putih—sampai kaus-kaus bergambar kepala singa, lambang Arema, yang memang punya julukan sebagai tim Singo Edan (singa gila). Kebanyakan kaus macam ini bertuliskan “Kera Ngalam” atau “Ongis Nade”. Keduanya adalah bahasa slang Malang yang berarti “Arek Malang” dan “Singo Edan”.

“Saya biasanya pakai kaus Arema, tapi bawahannya bisa ganti-ganti, yang penting warna dan modelnya menyolok mata. Seorang teman suporter pernah memberi saya pakaian Skotlandia,” kata Yuli sembari mengeluarkan pakaian bermotif kotak-kotak khas skotlandia dari lemarinya. Sebentar kemudian ia mengeluarkan lagi beberapa pakaian, dari yang berbahan kulit sintetis hingga kain sarung dan kain perca. Hampir semua pakaian ini dirancang sendiri oleh Yuli. Biasanya ia mendapat ide model-model pakaian baru setelah menonton pertandingan sepakbola Liga Italia atau Inggris di televisi.

Saya membuka-buka koleksi foto Yuli. Ia memberikan penjelasan detil untuk tiap foto yang saya lihat. Ketika saya sampai pada sebuh foto yang memerlihatkan sepasang lelaki dan perempuan berbaju pengantin, sementara di sekelilingnya adalah laki-laki dan peremuan yang semuanya berkaos biru Arema, Yuli menjelaskan bahwa itu adalah acara pernikahan seorang Aremania. Ia malah menceritakan tentang seorang Aremania lain yang naik haji ke Mekkah dengan membawa syal dan bendera Arema.

Kamar Yuli kecil saja, 3 kali 3 meter. Dindingnya dicat biru, dipenuhi poster dan macam-macam hiasan dinding yang berbau Arema. Sebuah poster paling besar, kira-kira berukuran 1 kali 1,5 meter, dibuat dengan teknik cetak yang baik, memerlihatkan gambar kepala singa, foto tim Arema, dan ribuan suporter Arema. Bagian bawah poster itu bertuliskan “Di saat prestasi bangsa Indonesia sedang terpuruk, bumi pertiwi bersimbah darah, nusantara sedang tercabik, Aremania melalui panggung sepakbola telah membuat jutaan pasang mata di layar kaca terkagum oleh sportivitas,” kemudian dilanjutkan dengan kalimat-kalimat berbahasa Inggris, “Aremania, pride of the city, friendship without frontier, footbal without violence, the incorporable suporter, the incredible Malangese”.

Di kamar ini Yuli mengarang tarian dan lagu-lagu buat Aremania. Sebenarnya ia tak benar benar-benar mengarang, ia hanya memodifikasi saja syair lagu-lagu yang sudah ada, sementara nada dan iramanya tetap dipertahankan. Sumbernya bisa datang dari mana saja. Bisa lagu-lagu tentara Indonesia, lagu pop, lagu anak-anak, lagu pramuka, lagu selamat ulang tahun, sampai lagu suporter Juventus, suporter kesebelasan Cili, atau lagu marinir Amerika yang dilihatnya di film atau televisi. Yuli hafal di luar kepala semua lagu yang berjumlah 30-an itu. Untuk tarian, Yuli mengaku sekenanya saja. Prinsipnya adalah ia harus bisa membuat gerakan tubuh yang mudah ditirukan dan dingat orang lain. Menurut Yuli, seringkali para suporter juga memberikan usulan tarian dan lagu baru beberapa saat sebelum sebuah pertandingan dimulai.

Kini orang ramai berdatangan ke Stadion Gajayana. Mereka datang bukan hanya untuk sepakbola, tetapi juga untuk melihat bagaimana Aremania menyanyi dan menari. Dulu menonton sepakbola di Gajayana hanyalah monopoli orang-orang pribumi laki-laki, tapi kini perempuan dan orang-orang keturunan Cina juga datang menonton ke stadion. Hampir-hampir tak ada lagi kerusuhan dan perkelahian.
sumber:disini
Read More...

Drawing Piala Asia 2010

Juara bertahan Irak dan salah satu raksasa Asia, Korea Selatan, akan menjalani pertarungan sengit untuk menjadi yang terbaik di kawasan benua kuning ini menyusul hasil drawing putaran final Piala Asia 2011 di Aspire Dome, Doha, Qatar.

Berdasarkan hasil drawing itu, Irak berada di Grup D bersama Korea Utara, Uni Emirat Arab, dan Iran, rival utama mereka, baik di olahraga maupun politik. Sedangkan Korea Selatan bergabung dengan India, Australia, dan Bahrain.

Sementara hasil lainnya di Grup A terdiri dari Qatar, Kuwait, China, dan Uzbekistan. Sedangkan finalis tiga tahun lalu di Jakarta, Arab Saudi, berada di Grup B bersama Jepang, Yordania, dan Suriah.

Persaingan di Grup D merupakan yang paling sengit. Irak yang sedang berusaha membangun sepakbolanya kembali setelah tidak aktif selama dua tahun akibat sanksi FIFA harus bertempur melawan Korea Utara, salah satu tim Asia yang berlaga di Piala Dunia 2010.

Ujian semakin berat karena Irak harus bertemu dengan tetangga mereka, Iran, yang selama ini hubungan diplomatiknya tidak pernah akur. Pertemuan kedua tim ini sering diwarnai hawa panas.

Walau tidak terlalu berat, namun pertemuan Korea Selatan dan Australia akan menjadi laga menarik. Pasalnya, selain sama-sama tampil di Piala Dunia 2010, kedua tim ini bermaterikan pemain yang merumput di kompetisi Eropa. Australia tentunya tidak mau mengulangi kegagalan mereka tiga tahun lalu.

Berikut Hasil Drawing Piala Asia 2011:

Grup A
1. Qatar
2. Kuwait
3. China
4. Uzbekistan

Grup B
1. Arab Saudi
2. Jepang
3. Yordania
4. Suriah

Grup C
1. Korea Selatan
2. India
3. Australia
4. Bahrain

Grup D
1. Irak
2. Korea Utara
3. Uni Emirat Arab
4. Iran
sayang indonesia ga masuk gan... sedih deh...
sumber:disini
Read More...

Rapor Bagus Hanif Sjahbandi di MU

Jakarta - Berlatih bersama banyak anak-anak dari berbagai negara dunia di sekolah sepakbola Manchester United, Hanif Sjahbandi tak kalah bersaing. Dia malah termasuk yang paling berprestasi di angkatannya.

Hanif Sjahbandi mengikuti kelas latihan yang diadakan Manchester United pada pertengahan tahun 2009 lalu. Dia terbang ke Inggris setelah membantu timnas U-13 memenangi AFC U-13 Festival of Football di Malaysia.

Selama menjalani kursus sepakbola di MU, Hanif ternyata tampil mengesankan. Atas dasar performa dan nilai bagus yang didapat, dia kemudian mendapat undangan untuk berpartisipasi di World Skills Finals 2009 yang dilangsungkan di Old Trafford.

World Skills Finals merupakan sebuah kesempatan yang diberikan pada siswa Kursus Sepakbola Manchester United yang dianggap punya prestasi dan tampil menonjol. Dalam ajang tersebut, peserta mendapat kesempatan menjalani sesi latihan yang lebih intensif, melakukan tur di Theater of Dreams, merumput di Old Trafford serta menyaksikan pertandingan Premier League dan kaga tim akademi.

Selain memiliki akademi sepakbola, untuk menjaga regenerasi pemain, MU juga memberi kesempatan pada seluruh anak di dunia untuk 'Hidup, Berlatih dan Bermain Seperti Cara MU' melalui kelas kursus yang mereka buka. Kelas kursus tersebut terdiri dari berbagai kategori dan biaya, yang dibedakan berdasarkan tingkatan umur.

Seperti dikutip dari manutdsoccerschools, jumlah yang harus dibayarkan peserta kursus berbeda tergantung jenis kelas yang diikuti. Untuk "Residential Course" misalnya, The Red Devils mematok biaya sebesar 549,95 poundsterling (Rp 8,1 juta) untuk rentang usia 8-18 tahun.

Siswa kursus kelas tersebut akan menginap selama lima hari di tempat yang sudah disediakan. Setiap harinya mereka akan menjalani latihan rutin, yang tingkatannya dibedakan berdasar usia dan jenis kelamin.

Jika nantinya ada scout The Red Devils melihat ada pemain dengan potensi besar dari kursus sepakbola ini, sangat mungkin untuk terus dipertahankan hingga beberapa tingkat jenjang umur berikutnya.
sumber:disini
Read More...

Football of Indonesia

Indonesia, a country with population of 240 million and has a variety of cultures, religions and had many islands. Indonesia in this beloved country a lot of talent and a good football talent. almost all over the country have a great talent who need special coaching. of old, Indonesia is very feared by other nations of Asia with few accomplishments to boast of this nation. players have ever reached such a glorious achievement Hartono, rudi w keltjes, FREDI muli. they've become a good coach in Indonesia, and become leaders in their zeal for his successors in the present. but now many are disappointed in our team for achievement, several events and tournaments do not generate proud achievement and quite a few tournaments that can not be followed. indeed it is not cooled by football lovers in Indonesia, classy players like bambang p, markus horizon, Boaz salosa cs can not give the proud achievement. but we as a nation must always provide high-minded moral support for the sake of an achievement, hopefully with the development of Indonesian league talent and good coaching will bring better performance for football in Indonesia. the progress we continue to support Indonesian football, we know hard to create a performance with a short time and inadequate infrastructure. by creating a quality player players will definitely attract a lot of football lovers in Indonesia, both moral and financial support. football industry began to take part in Indonesian football. simply share stories about our Indonesian football slump, hopefully for the reader continues to provide morale for the betterment of our national team. no racist, no anarchist, fair play is a priority. Read More...