Thursday, May 27, 2010

Arema Juara ISL

Untuk pertama kalinya Arema Indonesia Juara ISL 2009/2010, sebuah perjuangan dan pengorbanan yang panjang berbuah hasil yang maksimal. sebuah anugrah Tuhan yang Maha Esa yang melimpahkan rizki bagi Arema Indonesia. Arema Indonesia mengunci juara di pekanbaru setelah menahan imbang PSPS dengan skor 1-1 gol Arema dicetak oleh Noh Alam Shah menit ke 42, goal PSPS dcetak oleh Dzumafo 46(Penalti),Dengan hasil tersebut, Arema mengumpulkan nilai 70 dengan sisa satu pertandingan. Di bawahnya, Persipura hanya mengantongi nilai 66. Dengan satu pertandingan tersisa, sudah tak mungkin buat Persipura mengejar Arema.




Arema langsung mendapat replika trofi dipekanbaru,tepatnya di Hotel Jatra. Karena khawatir terjadi keributan maka penyerahkan replika trofi ISL dilakukan di Hotel Jatra, tempat pemain Arema menginap. Meski demikian, kubu Arema tetap bersuka cita merayakan gelar juara yang mereka raih. Catatan pertandingan yang dijalani Arema hingga saat ini adalah mendapat 22 kemenangan, 4 hasil seri dan tujuh kali kalah. Meski masih menyisakan satu laga lagi menghadapi Persija Jakarta pada 30 Mei nanti namun hal itu tidak lagi mempengaruhi gelar juara yang sudah digenggam Arema. Pertandingan berlangsung panas. Pada menit ke-70, terjadi ke­te­gangan antar pemain dua tim. Itu berawal da­ri pelanggaran yang dilakukan bek PSPS Dedi Gusmawan kepada Noh Alam Shah. Melihat kejadian tersebut, gelandang Arema M. Ridhuan mendatangi Dedi. Keributan pun tak terhindarkan. Karena insiden ter­se­but, Dedi menderita luka di leher. Kejadian itu menyulut reaksi pemain lain dan ofisial dua tim.

Penonton terpancing. Mereka melempari bench Arema. Bahkan, pagar pembatas sempat dijebol penonton yang merangsek ke lapangan. Karena suasana semakin panas, pertandingan terhenti selama sekitar sepuluh menit. Namun semua itu tidak menghalangi arema indonesia menjadi juara, suatu sejarah yang menjadi kebanggaan warga Malang dan Indonesia. Sebuah tim yang tidak banyak diperhitungkan di awal musim bisa mengejutkan dengan menjadi juara ISL, semua itu berkat anugrah Tuhan dan konsistensi permainan Arema, menneer Robert yang mampu mengkombinasikan pemain lokal dan Asing serta pemain-pemain muda akademi Arema jangan lupa yang paling fantastik adalah para Aremania dan Aremanita yang selalu mendukung Arema dengan punuh semangat dan loyalitas tanpa batas. Sungguh sebuah prestasi yang sangat membanggakan. Aremania pun langsung berpesta dengan melakukan konvoi keliling kota malang, sang pendiri Arema Acub Zaenal pun menangis bangga akan prestasi yang telah ditorehkan Arema Indonesia. Selamat buat Arema Indonesia.. Salam Satu Jiwa Arema Indonesia..
Read More...

Sunday, May 23, 2010

Andre Wetsel

Indonesia, sepatutnya merasa bangga. Sumber daya manusianya boleh dikata cukup berkualitas. Bahkan beberapa diantaranya juga bersinar di negeri asing, tak terkecuali cabang olahraga sepakbola.
Di liga Belanda atau yang lebih dikenal dengan sebutan Eredivisie, musim kompetisi 2007/2008, menghadirkan sosok figur pelatih klub yang berdarah Surabaya.

Siapakah dia ?

Namanya Andre Wetsel. Beliau dilahirkan di kota buaya, Surabaya, 56 tahun silam. Saat ini dirinya menjabat sebagai pelatih kepala di klub VVV-Venlo. Klub ini memang tidak cukup terkenal, bahkan masuk dalam klub kecil di Belanda.

Namun hebatnya, sentuhan tangan dingin Wetsel berhasil membawa VVV-Venlo untuk pertama kalinya dalam 13 tahun terakhir, lolos ke divisi utama Eredivisie. Bahkan dari serentetan pertandingan yang sudah dilakoninya musim ini, The Big Three (PSV, Ajax dan Feyenoord), berhasil ditahan imbang dengan skor 1-1,2-2, dan 0-0.
Sekilas penampilannya mengingatkan kita kepada mantan Mendikbud RI beberapa tahun silam, Alm. Bapak Fuad Hasan. Andre Wetsel di masa mudanya, pernah bermain untuk HFC Haarlem, FC Amsterdam dan FC Den Haag. Karirnya sebagai pemain boleh dibilang tidak cukup sukses. Peruntungannya berbalik, ketika dirinya menjadi pelatih di FC Den Haag dan FC Den Bosch. KNVB pun kesengsem atas hasil polesannya, dan kemudian memboyongnya untuk menukangi “Jong Oranye” U-19, sebagai asisten pelatih.


VVV-Venlo, mengambil pilihan yang tepat kepada dirinya. Terbukti semenjak 2 periode (2005/2006-2006/2007), grafik peningkatan permainan, membawa klub tersebut ke kasta tertinggi Liga Sepakbola Belanda.
Referensi:http://blog-artikel-menarik.blogspot.com/2009/02/inilah-pelatih-eropa-asal-indonesia.html
Read More...

Monday, May 17, 2010

Eric "King" Cantona

Eric Cantona was perhaps the most influential footballer in English footballer of the 1990s. A player of true vision and creativity, worthy of that now, much over-used word, "genius". His passing, innovation and influence was unrivalled, he could split a defence with the sort of pass that only he could create. Eric had an exhilarating array of skills, back-heels, stylish flicks, turns and lobs combined with immaculate ball control and touch.

His shooting from long-range was superb while one-on-one with the goalkeeper, he was ice cool and clinical. If opposing defenders lost concentration for a millisecond, it would be enough for Cantona to punish them and set the Reds on the way to another vital victory. Together with a sometimes unpredictable Gallic temperament, Cantona was a one-man footballing phenomenon.

Cantona was a unique character, a one-off, but Manchester United and Eric was a match made in heaven. When Alex Ferguson stunned everyone in English football with the deal of the decade that aquired him from Leeds, few knew the impact Eric would make. Most United fans thought he was no more than a strengthening of the squad, but a few months later it became clear that Cantona was by far the most important player at Old Trafford. From the moment he walked through the door he realised there was at last the platform he was looking for, huge potential, huge support and a working assumption that only the best is good enough. And Eric Cantona knew he was the best.
The Catalyst for success
He was the final piece of Alex Ferguson's jigsaw in creating a team to end United's 26 year wait for a league title. Within a short while of his arrival, such was his powerful influence that the whole United team revolved around the mercurial Frenchman. With Cantona and United playing the most attractive football of the 90's they not only ended that 26 year wait and went on to do the League and Cup Double in 1994 and 1996 with another Premier League title in 1997.

Cantona had numerous problems with discipline during his career in France, sendings off and tantrums prevented him making a real impact. Born in Paris, he was brought up in Marseille and made his first-team debut for Auxerre, a local club, in 1983. He signed professional forms for Auxerre in June 1986 and made his full International debut in 1987 against West Germany. After 81 league games and 23 goals for Auxerre he signed in 1988 for French champions Marseille for £2.3 million where he won the League and Cup double in 1989. However, after a row when he angrily threw his shirt to the ground he was loaned to out Bordeaux, before signing for Montpellier, with whom he won the French Cup in 1990. He returned to Marseille again, then was sold for £1 million to Nîmes where he became Captain.

His rebellious behaviour forced him to leave after arguments with managers, referees, and team-mates. In August 1988, he insulted the French national team manager on television and was banned from the national side for a year. After he threw the ball at a referee in while playing for Nîmes he was banned for three matches. In the disciplinary hearing that followed an annoyed Cantona went up to three members of the French FA and shouted "Idiot!" in each of their faces. This led to a two month ban and Eric announced his retirement from football in December 1991, it would be only temporary however. Cantona returned in England and made a low-key return briefly at Sheffield Wednesday before joining Leeds United in February 1992 - in time to make 15 league appearances and help Leeds win the Championship at Manchester United's expense.

He became an idol of the Leeds fans as they sang the terrace chant "Ohh-Ahh-Cantona". Then suddenly in November 1992 after 13 appearances into the new season, he was sensationally transferred to Manchester United for the comparatively small sum of £1.2 million. It was to be one of the biggest bargains in British football history. Cantona inspired United to their first League title for 26 years in 1993 and the following year another title with the FA Cup - to complete the club's first Double. He also won the recognition of his fellow professional's, winning the PFA Player of the Year award in 1994 and had also risen to become Captain of the French National team.
The French rebel
Cantona had numerous problems with discipline during his career in France, sendings off and tantrums prevented him making a real impact. Born in Paris, he was brought up in Marseille and made his first-team debut for Auxerre, a local club, in 1983. He signed professional forms for Auxerre in June 1986 and made his full International debut in 1987 against West Germany. After 81 league games and 23 goals for Auxerre he signed in 1988 for French champions Marseille for £2.3 million where he won the League and Cup double in 1989. However, after a row when he angrily threw his shirt to the ground he was loaned to out Bordeaux, before signing for Montpellier, with whom he won the French Cup in 1990. He returned to Marseille again, then was sold for £1 million to Nîmes where he became Captain.

His rebellious behaviour forced him to leave after arguments with managers, referees, and team-mates. In August 1988, he insulted the French national team manager on television and was banned from the national side for a year. After he threw the ball at a referee in while playing for Nîmes he was banned for three matches. In the disciplinary hearing that followed an annoyed Cantona went up to three members of the French FA and shouted "Idiot!" in each of their faces. This led to a two month ban and Eric announced his retirement from football in December 1991, it would be only temporary however. Cantona returned in England and made a low-key return briefly at Sheffield Wednesday before joining Leeds United in February 1992 - in time to make 15 league appearances and help Leeds win the Championship at Manchester United's expense.

He became an idol of the Leeds fans as they sang the terrace chant "Ohh-Ahh-Cantona". Then suddenly in November 1992 after 13 appearances into the new season, he was sensationally transferred to Manchester United for the comparatively small sum of £1.2 million. It was to be one of the biggest bargains in British football history. Cantona inspired United to their first League title for 26 years in 1993 and the following year another title with the FA Cup - to complete the club's first Double. He also won the recognition of his fellow professional's, winning the PFA Player of the Year award in 1994 and had also risen to become Captain of the French National team.
Manchester United's greatest idol
At Leeds, Cantona was an idol, at Manchester United he was a God. Fans worshipped him the like of which Old Trafford had not seen or may ever see. He was hailed as "Eric the King" with the French red, white and blue colours as prevalent at Old Trafford than the normal red, white and black. Even to this day 3 years after his departure fans still sing his name. No United player has ever had such a relationship with his fans. Eric was a player to be proud of and symbol of a resurgent Manchester United in the 1990s. He encapsulated what United fans think of our club: different, better.

Memorable Cantona moments? Well, there are many: A stunning volley against Wimbledon in the FA Cup 5th Round 1994, his pair of penalty kicks that sunk Chelsea in the Cup Final of the same year, a brilliant chip against Sheffield United in the 3rd Round the following year. Then there was his individual effort against QPR in October 1993, scoring two goals against Man City in both derbies of the 93-94 season, his crucial winner at Newcastle in March 1996, his superb strike versus Arsenal that same month, his winning goal in the 1996 FA Cup Final, a delicate lob against Sunderland in December 1996.......the list could go on and on.
Super confident
When Eric was playing you always knew that when it mattered, United would win. Cantona would install in the rest of the team an unbeatable confidence. His presence alone was enough. Footballers need self-belief but Eric Cantona had unfathomable reserves of the stuff. His arrogance had upset colleagues in the past, but at United it only inspired them.

Eric really did intimidate opponents and wind-up opposing fans. There was his confident Gallic strut with his chest puffed out, or sometimes he'd stand with hands on hips gesturing like a movie Director. Not forgetting the way his shirt collar was always famously turned up. He was truly fascinating to watch but Cantona was no ordinary footballer. He liked philosophy, poetry, art, drama - this all added to his enigmatic character and reputation.
From hell to heaven
In the infamous "Kung-foo kick" Cantona's volatile state of mind led to him attacking an abusive spectator. A court sentence of 120 hours' community service was accompanied by a world-wide ban on Cantona playing football until October 1995. The French FA stripped him of captaincy of the national team and Cantona would never play for his country again. In his absence United lost the League by a point to Blackburn, a title they surely would have won had he not been banned.

Cantona's grace in accepting his punishment largely restored his popularity and he was voted the Football Writers' Association Footballer of the Year for 1996. 1996 was Cantona's greatest year in which as Captain he led United to the Double, almost single-handedly. Scoring a string of vital match winning goals, including the FA Cup-final winner against Liverpool. Cantona also played a vital role in the shaping and teaching of United's young players such as Beckham, Scholes and Giggs.
The shock retirement
In Cantona had a good season but failure to get to the European Cup Final and the emergence of United's young stars led him to suspect his powers were on the wane. In June 1997 after winning the League title he stunned the footballing world and left United fans gutted by announcing his retirement. Eric did not want to be remembered as an ageing player past his best, he wanted to always be remembered at his magnificent prime, a winner. Cantona instead planned to take up a different stage, amazingly, as a film actor. He did however return for one final game in the famous red shirt, playing in the Munich Memorial game in November 1998.

A year later Eric returned for Alex Ferguson's Testimonial in which he played with a United legends team alongside Bruce, Pallister, Hughes, Robson and Schmeichel. Even after the Treble winning heroics, Cantona's popularity with the United fans was still as strong as it ever was. The acting career path has so far not been a huge success and Cantona has returned to the game representing France in the shape of professional Beach football - and his superb skills are still very evident. In May 2001 Manchester United announced Cantona would return to Old Trafford in an informal role to coach the youth team and younger players. If it is successful, perhaps he may yet have another role to play in the club's history.

Conclusion

As unexpectedly as he had arrived he was gone. The King had abdicated and his throne was empty. Consequently, Alex Ferguson reshaped his team to play more as a unit and not revolve around Cantona. United never really did replace him, there was no-one like him and no-one would ever be like him. A true great and legend, Eric "The King" Cantona, we will probably never see his like again.

Cantona Trivia

Eric was born in the French capital Paris but grew up in the Mediterranean city of Marseille.

Cantona spent 1984 doing his national service in the French Army

His first ever appearance for the Reds was against Benfica in Lisbon, in a friendly match to mark the 50th birthday of Eusebio.

He did not always wear the number 7 shirt. Eric was 12 in season 1992/1993. In 1994 he was given the 7 upon Bryan Robson's retirement. Beckham took the shirt in 1997.

No sprawling mansion for Eric, he lived in a humble semi-detached house in Alderley Edge whilst playing for United.

His final competitive game came against West Ham on 11th May 1997. His final appearance before retiring was five days later on Friday 16th May. In a testimonial for David Busst against Coventry City at Highfield Road, Eric scored twice in a 2-2 draw.

Eric was the star of many Nike adverts, famously playing against a team of demonic creatures in "Good vs Evil" at a Roman coliseum and playing amateur football on Hackney Marshes.

He was later the ring master of the £10 million 'The Secret Tournament' in a caged arena featuring stars like Henry, Ronaldo, Ronaldinho and Luis Figo.

Cantona is still featuring in Nike ads today, nearly ten years after his retirement he front's their Germany 2006 ad campaign. www.soccercommercials.com

He has starred in many films. His first speaking role was in 'Elizabeth' in 1998 and he went on to star in 'Mookie', 'Les Enfants du Marais' and 'L'Outremangeur' in which he donned a fat suit to play an overweight detective.

He is married to Isobel and has two children. His brother Joel was also a footballer and played for Ujpest Dozsa and Stockport County.

He became captain of the French National Beach Football team and won the beach soccer world championship in Rio de Janeiro

Cantona's personal idols are Maradona, Mickey Rourke, Marlon Brando, Jim Morrison and the French poet Rimbaud.

He has been outspoken in his criticism of the Glazer takeover

Cantona Quote: "When the seagulls... follow the trawler... it's because they think... sardines will be thrown... into the sea".

Cantona Quote: “Whatever happens, there are always things you could have done better. You score two goals and you usually feel you could have done better.You score two goals and you usually feel you could have scored a third. That's perfectionism. That's what makes you progress in life.”

Cantona Quote: "An artist in my eyes, is someone who can lighten up a dark room. I have never and will never find difference between the pass from Pele to Carlos Alberto in the final of the World Cup in 1970 and the poetry of the young Rimbaud, who stretches cords from steeple to steeple and garlands from window to window. There is in each of these human manifestations an expression of beauty which touches us and gives us a feeling of eternity."
Biodata Eric Cantona
Born : 24 May 1966
Signed : 27 Nov 1992
Debut : 6 Dec 1992 v Manchester City (H) League
Goals Total : 82
Appearances Total: 185
Position : Forward
Left United : 19 May 1997
referensi: http://www.id-manutd.com/legenddetail.php?pilihlegend=7
Read More...

Sunday, May 16, 2010

Dribblling Tips

Dribbling, salah satu teknik dasar dalam sepakbola. Ketika Anda tidak menemukan teman yang bisa diumpan, Anda harus mendribbling. Demikian pula ketika mengumpan akan berakibat offside, Anda harus melakukan dribbling. Menggiring pada dasarnya dibedakan menjadi dua: closed dribbling dan speed dribbling. Closed dribbling dilakukan dengan kontrol penuh atas bola, dilakukan ketika bola tidak benar-benar aman dari lawan kita. Pada closed dribbling, bola tidak boleh lebih dari 1 meter didepan kita. Adapun speed dribbling hanya memiliki satu tujuan: kecepatan. Pada speed dribbling, kita menggiring bola dengan berlari secepat-cepatnya. Bisa dilakukan dengan menendang bola kedepan lalu kita kejar sekuat-kuatnya. Namun syaratnya, kita benar-benar bebas dari tekanan lawan.
Yang tidak bisa dipisahkan dari teknik menggiring adalah teknik menggocek (move). Menggocek dilakukan untuk menipu alias menghilangkan keseimbangan lawan atau sekadar untuk membuyarkan konsentrasi lawan.
Bagaimana menggiring dan menggocek yang baik, berikut ini beberapa tips praktis untuk itu.
Pertama: Jika Anda ingin membawa bola dengan cepat ke daerah kosong (tidak ada lawan), lakukanlah speed dribbling yakni dengan menendang bola lalu mengejarnya. Namun jika Anda membawa bola di sekeliling lawan, lakukanlah closed dribbling yakni dengan senantiasa menjaga agar bola tidak lebih dari setengah meter di depan Anda. Dalam melakukan closed dribbling, jangan menambah kecepatan dengan cara memperlebar langkah kaki Anda atau mendorong bola lebih jauh ke depan, akan tetapi tingkatkanlah frekuensi langkah kaki Anda.
Kedua: Jangan terlalu banyak menggiring di sepertiga lapangan Anda. Anda boleh lebih leluasa menggiring di sepertiga lapangan lawan.
Ketiga: Sewaktu menggiring, jika lawan membayangi Anda dari samping maka teknik berbalik (turning) seringkali bisa membantu Anda mengecohnya.
Keempat: Ketika Anda membawa bola dan ada lawan di depan Anda, sangat baik jika Anda tidak tergesa-gesa mengumpankan bola padahal Anda masih jauh darinya. Giringlah bola terlebih dahulu mendekati sang lawan, dan pada saat yang seakhir mungkin umpankanlah bola kepada teman. Dengan demikian, sang lawan pasti akan terlambat untuk bisa mengantisipasi bola tersebut. Namun, jika Anda terlambat dalam mengumpan maka sangat mungkin lawan akan bisa merebut bola dari kaki Anda.
Kelima: Sewaktu menggiring, jika lawan menghadang di depan Anda maka umpankanlah bola kepada teman atau lewatilah lawan yang menghadang tersebut. Terdapat banyak teknik untuk melewati lawan, yang pada prinsipnya adalah menjadikan lawan sulit bergerak mengejar bola, mati langkah, salah antisipasi, atau kehilangan keseimbangan. Diantara teknik-teknik tersebut adalah matthews move, menggunting (scissors move), step over, cruyf move, melewatkan di bawah kedua kaki lawan (nutmeg move), berpura-pura mau menendang (fake kick), berputar (spin move), mencungkil bola (sombrero move) dan elastico move.
Keenam: Anda boleh kehilangan bola asalkan mendapatkan ganti yang pantas untuk itu, seperti tendangan pojok, tendangan bebas, lemparan kedalam, atau bahkan tendangan penalti.
Ketujuh: Menggiring bisa dilakukan ke arah mana saja, termasuk ke arah belakang jika dianggap perlu, misalnya untuk mencari dan menciptakan konfigurasi yang lebih baik.
Kedelapan: Jika teman Anda yang sedang menggiring bola berada dalam kesulitan, segeralah datang membantu dengan cara mengambil posisi yang tepat untuk bisa diberi umpan.
Kesembilan: Anda bisa menciptakan ruang bagi teman Anda untuk menerima umpan secara leluasa dengan cara menggiring bola yang Anda kuasai sedemikian sehingga tercipta ruang itu atau dengan memancing lawan mengejar Anda sementara Anda menciptakan ruang bagi teman-teman Anda ketika itu. Namun, ini hanya disarankan jika Anda terampil dalam menggiring.
Kesepuluh: Para pemain yang bisa menggiring paling baik disarankan untuk di tempatkan di sayap, dengan harapan bisa menyibukkan para pemain lawan sehingga tercerabut ke tepi lapangan dan terciptalah ruang yang longgar di tengah lapangan. Semoga bermanfaat...
Read More...

Atep yang terabaikan

Ada kenal Atep? ya, pemain persib bandung ini sudah dikenal pecinta sepakbola tanah air. Atep merupakan pemain binaan PS UNI (anggota Persib). Atep merupakan pemain potensial yang berposisi sebagai gelandang serang maupun sayap. Tendangannya yang keras dan terarah disertai skill individu yang baik menghantarkannya menjadi pemain Timnas Indonesia di berbagai ajang Internasional. Pemain yang pernah membela persiba bantul, persija jakarta dan sekarang membela persib bandung. Namun semakin berkembangnya permainan dan skill Atep semakin tidak pernah masuk Timnas, kita ingat pada Piala AFF/Tiger tampil begitu memukau dan menjadi pilihan utama pelatih peter white. Semua orang dinegeri ini pasti setuju dan mendukung Atep untuk kembali membela timnas Indonesia, permainannya yang konsisten di ISL harusnya menjadi tolak ukur bagi para petinggi sepabola indonesia. Sangat di sayangkan pemain sekelas Atep tidak masuk Timnas, sebuah Ironi bagi persepakbolaan kita. Kita ketahui dari tahun 2005 sampai sekarang hanya itu2 saja pemain yang masuk Timnas, pemain2 yang sempat berguru di Belanda, Ingrris, bahkan Brazil dan bermain bagus diliga indonesia hanya sebagai penonton setelah pulang dari menimba ILmu yang menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Mungkin Pelatih mempunyai Opini berbeda tentang hal ini, namun bagi kita yang terus mengikuti perkembangan sepakbola indonesia dan berharap Timnas kita bisa memberikan prestasi yang membanggakan. Kita khawatir Syamsir Alam cs akan bernasib sama sepeti mereka, pemain2 yang sedang digembleng di uruguay untuk mendapatkan ilmu dan diharapkan menjadi pengganti Bambang Pamungkas cs harus benar benar2 dipantau dan mendapatkan perhatian dari jajaran petinggi sepakbola indonesia. kita lihat saja ntar bagaimana nasib para tunas harapan ini sepulangnya dari uruguay, semoga tidak terjadi sepeti Rigan aghaci yang sempat berkarir dibelanda tapi terabaikan di negeri sendiri. Termasuk Atep, semoga dia kembali menjadi pilihan untuk masuk TImnas. Go Footbal Indonesia...

Fakta Atep:
Nama : Atep
Lahir : Cianjur, 5 Juni 1985
Posisi : Pemain tengah
Klub :
UNI Bandung
2002 Persib Junior
2003/2004 Timnas U-20 (Persiba Bantul)
2004-2008 Persija Jakarta
2008 Persib Bandung
Read More...

Saturday, May 15, 2010

Save wonderkids Indonesia

Action wonderkids in Europe. Ilyas Zaidan. Six-year-old boy who began exploring a career in the academy was able to PSV Eindhoven in action is like a Lionel Messi. Look at Zaidan's account on YouTube and you are guaranteed a surprise!
In France, there are Madin Mohammed. Algeria-blooded boy who was six years old. Small, Madin been touted as the future of Zinedine Zidane. Foreign media such as the Telegraph had already admitted his reputation.
Now, let's return briefly to the real world. Indonesian soccer only sweet in sheer fantasy. In fact, my personal experience proves, no matter how fanatical a fan of football, but about the Indonesian national team, his heart will be stirred. Unfortunately, Indonesian football too long in uncertainty, so that the spirit of the fans turned into anarchy and apathy.
Indonesian soccer long sleep also occurs in early childhood development soccer. Do not ever get bored on the opinion that said, there is no regular competition as the levels of early childhood development in Indonesian football. That's the first thing. Second, and most importantly, there is no definitive guidance system.
Ever daydream such talent and Madin Zaidan Mohammed Ilyas was born in Indonesia? If you believe in this opinion, you people who believe talent is authorized football players.
Or, just maybe God had been "kind enough" talent for lowering Mohammed Zaidan and maybe even Diego Maradona or Pele's equal, who knows? to Indonesia, but they are wasted because there is no definitive guidance channels? If you agree, you belong to this class who believed that was the system that gave birth to big players in football.
Both are probably right. Or is also wrong. Although Indonesia was in other fields also have wonderkids. For example, Aston Taminsyah, who had become world chess champion when he was eight years ago in 2005. Indonesian children may indeed fared better luck in other sports, except on the gridiron.
But, in case if the Indonesian football early age to walk properly, could have no more children under age who spend more time on the streets. There's nothing left to beg, ngamen, or even become victims of human trafficking. Are not most of the great Brazilian player was brought up in poor neighborhoods? How many jobs will be available as the opening of opportunities in the development of national early childhood football.
Unfortunately, so far these hopes have not materialized. PSSI hopefully start to think to develop the coaching of young players other than players to practice the delivery of projects abroad. Hopefully the fans began to admire and can also be amazed at the capabilities of the original Indonesian wonderkid. Now being done in nurseries for Syamsir Alam cs in Uruguay, we hope they are candidates for the Indonesian soccer stars and football to offer titles for Indonesia which had long been providing proud achievement.
Read More...

Tangan Tuhan Maradona

Siapa Yang tidak mengenal Diego Armando Maradona, Legenda sepakbola argentina yang terkenal dengan gocekan dan aksi menawannya dilapang hijau. Juga dengan Gol tangan Tuhan yang terjadi tanggal 22 Juni, 1986 di Estadio Azteca, Mexico City. Ketika gocekan Diego Maradona melewati 5 pemain Inggris lalu diumpan sampai bola melambung ke atas. Maradona pun menyambut dengan tangannya. Saat itulah bola masuk ke gawang Inggris. Gol ini terjadi di menit 51'. Sayangnya, teknologi saat itu belum secanggih sekarang, sehingga kurang terlihat dengan jelas. Wasit asal Tunisia ini pun mensahkan gol meski beberapa pemain Inggris memprotes masalah ini. Hanya saja 19 tahun kemudian, Maradona akhirnya mengakui gol tangan Tuhannya. Tidak sekedar naradona karena banyak mungkin banyak sekali pemain yang mencetak gol dengan tangannya, salah satunya adalah Lionel Messi, dia layak disebut Maradona baru karena gol tangan tuhannya muncul lagi. Gol ini muncul di Copa del Rey untuk Barcelona, bukan di Piala Dunia FIFA seperti Maradona. Nama Messi langsung meroket dengan kejadian ini, hanya saja Barcelona gagal juara Copa del Rey yang direbut Sevilla, tidak seperti Argentina yang juara Piala Dunia FIFA 1986 Inilah intrik yang terjadi dalam dunia sepakbola sampai pemain inggris waktu itu Terry Butcher, sangat sakit hati hingga mengungkapkan apa yang terjadi usai pertandingan. Butcher yang kini menjadi asisten pelatih Skotlandia rupanya masih menyimpan sakit hati. Butcher usai pertandingan yang dimenangi Argentina 2-1 itu berada dalam satu ruangan bersama Maradona. Mereka terpilih acak untuk melakukan tes doping. Di tempat itu, Butcher memberikan isyarat dengan menunjuk kepala dan tangannya, menanyakan dengan apa Maradona menjebol gawang Inggris yang dikawal Peter Shilton.
Pada pertandingan itu, Maradona mencetak dua gol. Golnya yang pertama dicetak dengan tangannya. Saat itu wasit memang tidak melihat adanya pelanggaran. Namun dari tayangan ulang, Maradona terlihat jelas sukses mengelabui wasit. Ya, kontroversi dan intrik selalu melekat dalam sepakbola. Mungkin itulah seni dari sepakbola, hal2 yang tidak terduga bisa saja terjadi baik disengaja maupun tidak disengaja.
Read More...

Friday, May 14, 2010

Pesepakbola keturunan Indonesia

Siapa bilang pebola keturunan Indonesia yang bermain di liga Eropa hanya Denny Landzaat, Giovanni van Bronkhorst, Simon Tahamata, Sonnya Silooy, dan Igancio Tuhuteru? Salah besar. Masih banyak yang lain dan rata-rata berumur belia. Di antara mereka yang paling dikenal adalah Radja Nainggolan, Irfan Bachdim, dan Donovan Partosoebroto. Ketiganya punya kesamaan yakni lahir dari ayahnya seorang WNI dan ibunya adalah warga negara asing. Irfan dan Donovan memiliki ibu asal Belanda, sementara ibu Radja dari Belgia.
Yang membanggakan, mereka tidak lupa terhadap leluhurnya di Indonesia. Dengan tegas, mereka mengakui di tubuhnya mengalir darah Indonesia.

Nama Irfan mencuat ketika timnas U-23 Indonesia yang dipersiapkan untuk mengikuti Asian GAmes 2006 di Qatar menjalani pemusatan latihan di Belanda pada pertengahan 2006 silam. Kala itu Irfan dalam beberapa kesempatan ikut berlatih. Sayangnya, dia batal memperkuat timnas U-23 Indonesia setelah dicoret lantaran mengalami cedera dalam pertandingan persahabatan terakhir.


Irfan memiliki darah Indonesia dari ayahnya, Noval Bachdim, yang seorang WNI tulen. Sementara ibunya, Hester van Dijic, adalah warga negara Belanda. Irfan lahir dan besar di Belanda. Keluarganya juga menetap di Belanda. Noval, sang ayah, berasal dari Malang (Jawa Timur), namun sudah tinggal di Belanda selama 20 tahun lebih.

Darah pebola mengalir ke Irfan dari sang ayah. Noval adalah pebola yang pernah membela Persma Malang di era 1970-an. Irfan menimba ilmu sepak bola pertama kali di Akademi Sepak bola Ajax Amsterdam pada 1999-2001. Dia seangkatan dengan Ryan Babel yang kini bermain di Liverpool. Sayangnya, perkembangannya dinilai stagnan.
Program beasiswa latihan di akademi Ajax pun diputus. Irfan kemudian bermain di klub amatir, Argon. Hanya setahun, dia kemudian digaet FC Utrecht. Setelah pada 2007 lalu dia sempat beberapa kali dimainkan bersama tim senior, musim ini dia resmi menjadi anggota tim senior FC Utrecht.

Irfan saat ini memiliki dua paspor, Belanda dan Indonesia. Sangat memungkinkan bagi Irfan untuk bisa memperkuat timnas Indonesia. Apalagi kabarnya dia bersedia dan keluarga juag mendukung. "Setiap saat Indonesia memerlukanku, aku akan datang," ucapnya seperti dirilis di situs resmi klub.

RADJA NAINGGOLAN

Radja memiliki ikatan darah dengan suku Batak. Ayah Radja, Marianus Nainggolan, adalah WNI berasal dari Medan dan kini tinggal di Bali. Sementara ibunya, Lizi Bogaerd memiliki kewarganegaraan Belgia. Radja lahir di Antwerpen, Belgia, pada 4 Mei 1988 sehingga otomatis menjadi warga negara Belgia. Bakat sepak bola menurun dari Marianus yang pernah aktif sebagai pebola amatir. Radja mendapat inspirasi menjadi pebola dari ayahnya.


Pada umur empat tahun, Radja yang memiliki saudara kembar perempuan bernama Riana, kerap diajak Marianus untuk bermain sepak bola. Ketika Marianus kembali ke Indonesia saat Radja berumur enam tahun, ibunya kemudian mendorongnya untuk memantapkan diri terjun ke dunia sepak bola. Saat ini Radja sudah menikah dan memiliki satu anak bernama Alisa. Dia bermain di Serie-B Italia bersama Piacenza sejak musim 2005-06, setelah sebelumnya menimba ilmu di tingkat junior bersama Germinal di Liga Belgia. Kabarnya, Radja saat ini sudah memiliki paspor Indonesia. Marianus pun mendukung anaknya bisa menjadi WNI dan memperkuat timnas Indonesia. Namun belum diketahui bagaimna sikap Radja.


DONOVAN PARTOSEBROTO

Donovan Partosoebroto lahir dari seorang WNI bernama Priyo Partosoebroto. Sang ayah menikahi wanita asal Belanda dan menetap di sana. Namun, tak ada sumber pasti tentang nama ibu Donovan. Saat ini dia tercatat sebagai kiper tim junior Ajax Amsterdam. Kecintaannya terhadap sepak bola sudah tampak pada umur lima tahun. Ketika menginjak delapan tahun, Donovan dan saudara kembarnya Vincent, sudah diincar oleh pemandu bakat dari AZ Alkmaar, FC Utrecht, dan juga Ajax. Seperti yang diungkapkanwww.indonesianfootball.wordpress.com, sang ayah kala itu belum bersedia menerima pinangan klub-klub tersebut dengan alasan kedua anaknya harus menyelesaikan sekolah dasar terlebih dahulu. Baru setelah lulus sekolah dasar, sang ayah menerima tawaran dari Ajax.
Kenapa Ajax yang dipilih?Pada waktu itu Ajax menawarkan fasilitas yang menggiurkan. Selain bersedia menjemput dan mengantar pulang, Ajax menawarkan latihan ketat selama liam hari berturut-turut dan menyediakan guru khusus untuk membimbing mereka dalam hal pendidikan formal. Saat ini Donovan masih bergabung dengan Ajax Junior. Tapi adiknya, Vincent sudah di pinang klub FC Hoofdorp.


untuk daftar lengkapnya ternyata banyak banget pemain keturunan Indonesia yang main di luar negeri:

BELAKANG:
Lucien Sahetapy. Pemain dengan posisi bek tengah ini pada awalnya bermain di klub Groningen pada tahun 1993. lalu pindah ke tim Divisi 1 Liga Belanda, BV Veendam.
Raphael Tuankotta. Pemain muda berusia 22 tahun ini kini
memperkuat BV Veendam Junior.
Estefan Pattinasarany. Pemain ini baru berusia 18 tahun dan kini
masih memperkuat AZ Alkmaar Junior.
Michael Timisela. Pemain ini merupakan pemaian muda berbakat yang
dimiliki tim Ajax Amsterdam. Di usianya yang memasuki 20 tahun,
pemain kelahiran Paramaribo, Suriname ini telah menembus masuk ke tim
utama Ajax.

Christian Supusepa. Pemain muda berusia 19 tahun ini, kini
memperkuat tim Ajax Junior.
Justin Tahapary. Pemain kelahiran 23 Mei 1985 ini sejak tahun 2004
telah memperkuat FC Eindhoven.
Marvin Wagimin. Pemain yang baru berusia 18 tahun ini masih
memperkuat tim VVV-Venlo di Divisi Satu Liga Belanda.
Peta Toisuta. Pemain berdarah Maluku ini kini memperkuat tim
Zwolle di liga Belanda.
Tobias Waisapy. Pemain berusia 18 tahun ini kini memperkuat tim
Feyenord Junior.
Jefrey Leiwakabessy. Bek kiri kelahiran Arnhem ini sejak tahun
1998 telah memperkuat NEC Nijmegen. Dan sempat mencicipi timnas
junior Belanda.
Raymon Soeroredjo. Pemain kelahiran Oss 18 tahun yang lalu ini
kini memperkuat tim Vitesse Junior.
Yoram Pesulima. Bek kiri kelahiran 9 Maret 1990 ini kini
memperkuat tim Vitesse Junior.

TENGAH:
Raphael Supusepa. Gelandang kiri yang lahir di kota Wormerveer
ini kini memperkuat tim MVV Maastricht. Pemain jebolan Ajax ini
sebelum bermain di MVV sempat bermain di tim Excelsior dan Dordrecht.
Levi Risamasu. Pemain kelahiran Nieuwerkerk ini pernah memperkuat
NAC Breda selama 4 musim sebelum pindah ke tim AGOVV divisi satu Liga
Belanda.
Marciano Kastoredjo. Gelandang yang juga bisa berperan sebagai
bek kiri ini sebelum bergabung bersama tim De Graafschap pernah
bergabung bersama tim Utrecht Junior.
David Ririhena. Bek ataupun gelandang kiri mampu dijalani oleh
pemain yang kini memperkuat TOP Oss di divisi satu Liga Belanda.
Joas Siahaija. Gelandang tengah kelahiran Maastricht 22 tahun
yang lalu ini kini memperkuat kota kelahirannya, MVV.

DEPAN:
Ignacio Tuhuteru. Pemain senior berusia 33 tahun ini kini
memperkuat Go Ahead Eagles. Sebelumnya pemain jebolan Ajax Junior ini
sempat malang melintang di beberapa klub seperti RBC Roosendaal,
Dalian Shide China, Sembawang Singapura, Zwolle, Heerenveen, dan FC
Groningen.

Ferdinand Katipana. Pemain kelahiran Amersfoort 26 tahun silam
ini sebelum bergabung bersama Haarlem, sempat bergabung di tim
Utrecht Junior dan Cambur Leeuwarden.

Read More...

Surat Untuk PSSI

Wajah sepakbola nasional sedang muram. Kemunduran prestasi dan anjloknya peringkat timnas di rangking FIFA membuat insan sepakbola Indonesia under estimated terhadap kesebelasan yang rencananya akan diasuh oleh Alfred Riedl. Ketidakpercayaan kepada masa depan Timnas ini bisa dimaklumi karena dalam rentan selama keikutsertaannya di kompetisi Internasional, Indonesia tidak pernah menjadi juara selain medali emas SeaGames. Pada piala Tiger (kini AFF), meskipun beberapa kali menjadi finalis, tak satupun piala mampir ke PSSI. Justru kini negara di kawasan Asia Tenggara muncul sebagai kekuatan baru seperti Myanmar dan Singapura. Di level Asia, rutinitas keikutsertaan Indonesia di Piala Asia harus berakhir di kompetisi empat tahunan yang akan digelar di Qatar.

Mundurnya kualitas timnas inilah hingga membuat presiden Republik Indonesia harus “menegur” PSSI sebagai pemegang kendali Tiimnas agar lebih serius dalam mengelolanya. Wacana kongres untuk merombak pengurus PSSI sangat didukung masyarakat sepakbola Indonesia. Selama ini kita tahu bahwa kepengurusan PSSI sangat jauh dari harapan ideal. Kasus korupsi terhadap ketua umum PSSI beberapa tahun lalu mestinya sudah menjadi tolok ukur bahwa PSSI sebenarnya sudah krisis. Itulah yang mungkin melatarbelakangi mengapa hingga kini pemerintah melalui kementrian pemuda dan olahraga tidak kunjung memberikan ridho dalam rencana Indonesia menjadi calon tuan rumah Piala Dunia 2022. Saya rasa wajar jika pemerintah urung merestui karena persoalaan prestasi dan pengelolaan sepakbola di negeri 230 juta penduduk ini belum rapi. Di kancah lokal misalnya, meskipun kualitas kompetisi liga Indonesia sudah super dan menjadi tontonan paling favorit masyarakat, namun, berbagai kerusuhan dan pelanggaran serta masalah defiit keuangan klub belum dapat diminimalisir.

Saya, sebagai pencinta sepakbola nasional sangat prihatin dengan masalah ini. Manakala saya masih kecil hingga ramaja, saya tidak pernah absen menonton tayangan televisi yang menyiarkan pertandingan timnas. Namun kini menjadi “aras-arasen”/ogah-ogahan. Terakhir mungkin di Piala Asia 2007 ketika kami bergabung dalam jutaan permisa Indonesia mendukung Bambang Pamungkas cs mencoba melewati kepungan grup maut meski akhrnya tidak lolos. Bukan mustahil hal serupa juga kini dijalani penggemar sepakbola selain saya. Adalah Henri Mulyadi yang melakukan perbuatan sensaisonal dengan masuk lapangan dua menit menjelang bubaran dalam laga Indonesia melawan Oman di Kualifikasi Piala Asia beberapa waktu lalu yang menjadi motivator para supporter lainnya untuk menggoyang petinggi PSSI. Menggoyang untuk berpikir bagaimana masa depan timnas merah putih. Menggoyang untuk melihat bagaimana nasib garuda di kancah Internasional. Menggoyang untuk mendengar bagaimana haus dan laparnya masyarakat sepakbola Indonesia akan gelar dan prestasi membanggakan.

Aliansi supporter klub lokal pendukung timnas pun bisa jadi kehilangan nasionalisme mengingat justru fanatisme terhadap klub yang berlebihan hingga sering berantem. Liga sepakbola Indonesia seyogyanya adalah kompetisi yang sangat diminati oleh pesepakbola professional di Asia Tenggara bahkan Asia. Bukan hanya kompetisi yang ketat, melainkan juga suasana stadion yang selalu dipenuhi pendukung klub plus tiada hentinya bernyanyi dan menari. Ini nilai lebih untuk hitungan lokal. Masalahnya timnas tidak bermain di level lokal.

Sekedar masukan, bahwa bangsa ini bangsa besar. Sungguh aneh jika tidak ada 11 pemain top diantara ratusan juta penduduk. Bayangkan dengan Singapura yang tidak lebih besar dari kota Jakarta. Bagaimana mencarinya, tidak susah. Cukup memantau bagaimana anak-anak remaja usia berkompetisi di tingkat nasional. Lihat bagaimana Danone Nations Cup yang membanggakan Indonesia dengan salah satu SSB-nya menjadi juara dunia. Putra-putra usia SD yang pandai mengolah kulit bundar, bekerja sama dalam bermain dan mental baja telah membuat kita bangga. Lihat juga bagaimana Hanif Sjahbandi yang berlatih di Manchester United Junior asuhan Ole Gunnar Solkjaer. Ya, sekali lagi seyogyanya pemain berbakat di negeri ini tidak hanya mereka, masih banyak jika PSSI mampu mencarinya.Bukan soal gengsi, bukan juga soal anti pemain lokal. Kita lihat data mencengangkan ini. Data pemain-pemain keturunan dan berdarah Indonesia yang kini menjadi pemain super di Eropa.

Kiper:
1. Donovan Partosoebroto. Pemain berusia 18 tahun ini kini membela
tim Ajax junior.

Belakang:
2. Lucien Sahetapy. Pemain dengan posisi bek tengah ini pada awalnya
bermain di klub Groningen pada tahun 1993. lalu pindah ke tim Divisi
1 Liga Belanda, BV Veendam.

3. Raphael Tuankotta. Pemain muda berusia 22 tahun ini kini
memperkuat BV Veendam Junior.

4. Estefan Pattinasarany. Pemain ini baru berusia 18 tahun dan kini
masih memperkuat AZ Alkmaar Junior.

5. Michael Timisela. Pemain ini merupakan pemaian muda berbakat yang
dimiliki tim Ajax Amsterdam. Di usianya yang memasuki 20 tahun,
pemain kelahiran Paramaribo, Suriname ini telah menembus masuk ke tim
utama Ajax.

6. Christian Supusepa. Pemain muda berusia 19 tahun ini, kini
memperkuat tim Ajax Junior.

7. Justin Tahapary. Pemain kelahiran 23 Mei 1985 ini sejak tahun 2004
telah memperkuat FC Eindhoven.

8. Marvin Wagimin. Pemain yang baru berusia 18 tahun ini masih
memperkuat tim VVV-Venlo di Divisi Satu Liga Belanda.

9. Peta Toisuta. Pemain berdarah Maluku ini kini memperkuat tim
Zwolle di liga Belanda.

10. Tobias Waisapy. Pemain berusia 18 tahun ini kini memperkuat tim
Feyenord Junior.

11. Jefrey Leiwakabessy. Bek kiri kelahiran Arnhem ini sejak tahun
1998 telah memperkuat NEC Nijmegen. Dan sempat mencicipi timnas
junior Belanda.

12. Raymon Soeroredjo. Pemain kelahiran Oss 18 tahun yang lalu ini
kini memperkuat tim Vitesse Junior.

13. Yoram Pesulima. Bek kiri kelahiran 9 Maret 1990 ini kini
memperkuat tim Vitesse Junior.

Tengah:
14. Raphael Supusepa. Gelandang kiri yang lahir di kota Wormerveer
ini kini memperkuat tim MVV Maastricht. Pemain jebolan Ajax ini
sebelum bermain di MVV sempat bermain di tim Excelsior dan Dordrecht.

15. Levi Risamasu. Pemain kelahiran Nieuwerkerk ini pernah memperkuat
NAC Breda selama 4 musim sebelum pindah ke tim AGOVV divisi satu Liga
Belanda.

16. Marciano Kastoredjo. Gelandang yang juga bisa berperan sebagai
bek kiri ini sebelum bergabung bersama tim De Graafschap pernah
bergabung bersama tim Utrecht Junior.

17. David Ririhena. Bek ataupun gelandang kiri mampu dijalani oleh
pemain yang kini memperkuat TOP Oss di divisi satu Liga Belanda.

18. Joas Siahaija. Gelandang tengah kelahiran Maastricht 22 tahun
yang lalu ini kini memperkuat kota kelahirannya, MVV.

19. Irfan Bachdim. Skuad inti tim tim HFC Haarlem.

20. Radja Nainggolan. Bermain di Piacenza Primavera. Pinjaman dari
tim Germinal B. di liga Belgia. >>> di fm 09 muncul jd rising star

Depan:
21. Ignacio Tuhuteru. Pemain senior berusia 33 tahun ini kini
memperkuat Go Ahead Eagles. Sebelumnya pemain jebolan Ajax Junior ini
sempat malang melintang di beberapa klub seperti RBC Roosendaal,
Dalian Shide China, Sembawang Singapura, Zwolle, Heerenveen, dan FC
Groningen.

22. Ferdinand Katipana. Pemain kelahiran Amersfoort 26 tahun silam
ini sebelum bergabung bersama Haarlem, sempat bergabung di tim
Utrecht Junior dan Cambur Leeuwarden.

yang ga kalah ketinggalan:
1. Radja Nainggolan (sempet pake no.10 di Piacenza serie B italy)
2. Irfan Bachdim (skuad junior FC Utrecht)
3. Irvin Museng (pemain inti di tim junior FC Omniworld, ex ajax, top score danone nation cup) sekarang di pro duta fc>> harapan indonesia dimasa akan dtg, asli indo neh kaga blasteran.
4. Peta Toisuta,(main di Zwolle)
5. Gaston Salasiwa,(AZ Alkmaar junior)
6. Jeffrey Flohr, (maen di ADO Den Haag)
7 Noah Chaniago (main di klub Divisi III Prancis Bertram North), padang asli coy!!!
8. Donovan Partosoebroto (kiper inti Ajax junior)>>mantep neh jd kiper timnas
9. Lucien Sahetapy. (main Divisi1 Liga Belanda, BV Veendam)
10. Raphael Tuankotta. (BV Veendam Junior)
11. Estefan Pattinasarany (AZ Alkmaar Junior) siapainya rony pattinasarni neh??
12. Michael Timisela. (tim utama Ajax) pernah liat maen di ajax…
13. Christian Supusepa. (Ajax Junior)
14. Justin Tahapary. (FC Eindhoven)
15. Marvin Wagimin. (VVV-Venlo junior)
16. Peta Toisuta. (Zwolle di liga Belanda)
17. Tobias Waisapy (Feyenord Junior)
18. Jefrey Leiwakabessy. (NEC Nijmegen/timnas junior belanda)
19. Raymon Soeroredjo. (Vitesse Junior)
20. Yoram Pesulima. (Vitesse Junior)
21. Raphael Supusepa. (MVV Maastricht)
22. Levi Risamasu (NAC Breda selama 4 musim)
23. Marciano Kastoredjo. (De Graafschap)>>> semarang bgt namanya, hahahha….
24. David Ririhena. (TOP Oss di divisi satu Liga Belanda) >>> jadi inget nama lengkap markus horison kiper kita (markus horison ririhena) saudaraan kali yah…
25. Joas Siahaija (MVV) >> marga batak neh..
26. Ignacio Tuhuteru. (Go Ahead Eagles) legenda indo di belanda neh!!
22. Ferdinand Katipana. (Haarlem)
Bobby Petta (adelaide united)
Demy de Zeeuw (az alkmaar)
Denny Landzaat (wigan athletic fc)
Giovanni van Bronckhorst (feyenoord rotterdam)
Jeffrey de Vischer (aberdeen fc)
Jeffrey Leiwakabessy (allemania aachen)
Johnny Heitinga (ajax amsterdam)
Michael Mols (feyenoord rotterdam)
Michael Timisela (vvv venlo)
Quido Lanzaat (pfc cska sofia)
Robin van Persie (arsenal fc) yg ini nenek buyutnya org surabaya…
Sigourney Bandjar (excelsior rotterdam)
phil adam cave (ex-newcastle united junior)
A (U-19)
Stefano Lilipaly = fc utrecht
Christian Supusepa = ajax amsterdam
Tim Hattu = vvv venlo
Jeffrey Hen = vvv venlo
Xander Houtkoop = sc Heerenveen
Edinho Pattinama = nac breda
Gaston Salasiwa = az alkmaar
Giovanni Kasanwirjo = ajax amsterdam
Raymond Soeroredjo = vitesse/agovv
Tobias Waisapy = feyenoord rotterdam
Jordao Pattinama = feyenoord Rotterdam
Abel Tamata = psv eindhoven
Yael Heatubun = fortuna sittard
Django Ngutra = GA eagles deventer
Richie Pairun = cambuur Leeuwarden
Ruben Wuarbanaran = fc Den Bosch
Daniel Salakory = fc Den Bosch
Govanni Wilikin = top oss

B (U-17)
Anice Waisapy = vvv venlo
Cayfano Latupeirissa = nec nijmegen
Estefan Pattinasarany = az alkmaar
Joey Latumalea = fc groningen
Yoram Pesulima = vitesse/agovv
Marciano Leuwol = vitesse/agovv
Stevie Hattu = vvv venlo
Sonny Luhukay = vvv venlo
Masaro Latuheru = feyenoord rotterdam
Ferd Pasaribu = fortuna sittard
Jair Behoekoe Nam Radja = rkc waalwijk
Marinco Hiariej = bv veendam
Graham Bond = fc omniworld

C (U-15)
Brandon Leiwakabessy = nec nijmegen
Jordi Tatuarima = nec nijmegen
Levi Raja Boean = nec nijmegen
Rychto Lawalata = nec nijmegen
Benjamin Roemeon = vitesse/agovv
Delano Haulussy = GA eagles deventer
Ricarco Malaihollo = GA eagles deventer
Jordi Rakiman = cambuur leeuwarden
Kevin Pairun = cambuur leeuwarden

D - E
Silgio Thenu = feyenoord rotterdam D1 BVO (U-13)
Niaz de Coninck = feyenoord rotterdam D1 BVO (U-13)
Tom Titarsolej = psv eindhoven D3 (U-11)
Jamarro Diks = vitesse/agovv D1 (U-13)
Kevin Diks = vitesse/agovv D2 (U-12)
Jerah Hukom = Vitesse/agovv D2 (U-12)
Shayne Pattynama = ajax amsterdam E3 (U-10)
Nathan Haurissa = fc den bosch D2 (U-12)
Sereno Latuhihin = fc den bosch D3 (U-11)

sedangkan nama-nama seperti Donovan Partosoebroto sekarang menjadi asisten pelatih U-13 klub amatir HOOFDDORP, Raphael Tuankotta main di klub amatir vv Holwierde, Marvin Wagimin (klub amatir Venlosche Boys A1), Petu Toisuta (klub amatir WSV Apeldoorn), Marciano Kastoredjo (klub amatir Haaglandia Rijswijk ZH), Ignacio Tuhuteru (klub amatir ROHDA Raalte), dan Raphael Supusepa sudah mengundurkan diri dari MVV alasan keluarga

http://forum.bncc.net/index.php?topic=4017.0

Sedangkan yang paling populer adalah Empat anak muda Indonesia kini tengah merumput di Liga Eropa. Mereka antara lain tengah merumput di Liga Belanda dan Jerman. Anak anak muda itu antara lain :

1. Irfan Bachdim (FC Utrecht Belanda)

Irfan besar di Belanda, dia keturunan Jawa - Belanda. Sejak kecil udah dituntun untuk menjadi pemain bola proffesional oleh kedua orang tuanya. Sewaktu kecil sempat bermain di PSV Eindhoven junior, namun perkembangan anak muda yang kini berusia 18 tahun ini dinilai stagnan sehingga dipecat dari OSV. untung FC Utrecht langsung menggaetnya ampe sekaran.
Posisinya Gelandang Serang, dan kelebihannya adalah tendangan bebas.

2. Radja Nainggolan (Feyeenord Roterdam)

Radja juga senasib dengan Irfan. posisinya pemain tengah dan sayap (kalo gak salah)…

3. Irvin Musseng (Ajax Amsterdam)

Ini yang paling sensasional. baru berusia 13 tahun. Setelah menjadi Top Scorer pada piala dunia danone U-13 pemandu bakat Ajax mencium bakat pemain ini. Ia diajak untuk seleksi masuk sekolah Ajax dan lolos setelah mengalahkan ratusan anak anak lainnya dari seluruh dunia. Ia pun kini tengah merasakan bermain di klub junior Ajax yang dikenal sebagai tim junior atau sekolah sepakbola terbaik di dunia karena telah melahirkan banyak pemain berbakat seperti Van Der Sar, Seedorf, Van Basten dan lainnya.
Posisi nya Striker.

4. Febrianto Wijaya (VFB Stutgart Jerman)

Bergabung karena link dari om nya di Jerman. dia mantan Kapten timnas U-17.
Posisi Striker.

Juga, siapa yang tidak kenal Robin van Persie, Giovanni van Bronckhorst, John Heitinga, Wilfred Bouma, Denny Landzaat, dan Roy Makaay ? Dalam dunia sepakbola mereka adalah bintang-bintangnya Tim Oranye Belanda.

Robin van Persie adalah kapten dan striker andalan Arsenal di English Premier League, pemain kelahiran Rotterdam berwajah melayu dan seorang muallaf ini juga merupakan striker andalan Timnas Belanda. Giovanni van Bronckhorst adalah kapten Timnas Belanda yang akan tampil di Piala Dunia 2010 mendatang, dia pernah menjadi pemain sayap andalan Barcelona dan Arsenal, saat ini dia bermain di Feyenord. John Heitinga adalah bek andalan Timnas Belanda dan Everton, Wilfred Bouma bermain di Aston Villa, Denny Landzaat bermain di Feyenord, sedangkan Roy Makaay yang saat ini juga bermain di Feyenord, pernah menjadi mesin gol Bayern Muenchen di Bundesliga dan Champions League, serta memperoleh European Golden Boot pada musim 2002-2003, penghargaan bagi top skor di Liga Eropa.

Meski nama-nama mereka berbau kompeni, siapa sangka mereka adalah keturunan Indonesia. Di darah mereka masih mengalir darah melayu, entah dari ayah-ibu atau kakek-nenek mereka. Sisa keindonesiaan mereka masih terlihat jelas pada wajah melayunya Robin van Persie, wajah Ambon dan kulit sawo matangnya Giovanni van Bronckhorst, John Heitinga, Wilfred Bouma, Denny Landzaat dan Roy Makaay.

Sudah bukan barang baru jika banyak saran dan masukan untuk menasionalisasi pemain-pemain junior di atas membela tanah leluhurnya. Irfan Bachdim bahkan pernah berlatih meskipun dengan alasan kurang jelas, PSSI mencoretnya. Jadi Intinya adalah, mengapa PSSI tidak mencoba memantau sekaligus menjamin mereka berbaju timnas di masa depan bergabung bersama Syamsir Alam dkk yang kini diproyeksikan menjadi Timnas masa depan.

Indonesia, kita minimal bangga tentang itu. Bahwa darah-darah negeri ini telah mengalir dalam lapangan rumput eropa dan dunia. Mari kita tinjau ulang. Apakah kita malu jika mereka berbaju merah putih bermain bola di Gelora Bung Karno.
referensi : http://hiburan.kompasiana.com/2010/03/09/surat-untuk-pssi/
Read More...

Membangun Sepakbola Indonesia Masa Depan

Disaat belahan dunia lain berlomba-lomba menangguk keuntungan dari industri sepakbola, kita di Indonesia masih dihadapkan dengan masalah kurangnya bibit pemain handal di masa depan. Prestasi Tim Nasional kita yang dulunya sangat ditakuti untuk kawasan Asia, sekarang untuk kawasan Asia Tenggara saja kita sudah berada di peringat ketiga/keempat setelah Thailand, Singapura dan Vietnam. Semua itu tidak terlepas dari sistem pembinaan usia dini yang ada di Indonesia.

Keberadaan Arsenal Football School Di Tangerang dan Real Madrid Football School Rencana Di Pulau Bali tidak akan berbuat banyak untuk perkembangan sepakbola masa depan yang terpadu. Kedua Football School itu hanya pengembangan sayap bisnis mereka saja dan tidak ada hubungannya dengan pembangunan sepakbola Indonesia masa depan. Yang ada hanya pencetak pemain yang syukur-syukur digunakan oleh Arsenal dan Real Madrid.
Secara teori, sistem pembinaan yang paling baik itu adalah Kompetisi. Sekarang coba kita liat, apakah ada kompetisi di Indonesia. Jika Indonesia terlalu besar, kita perkecil ke tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota. Apakah kita punya kompetisi yang permanen, lancar, kompetitif dan teratur? Belum lagi kalau ditanyakan apakah ada kompetisi dari kelompok umur paling bawah misalnya dari usia 12 tahun. Jawabannya adalah AMAT SANGAT TIDAK ADA!! Dengan jawaban itu kapan kita bisa berharap akan muncul sepakbola dan pemain sepakbola yang handal? Yang terlihat hanyalah sistem yang instant dan biaya besar seperti tim U17 di Uruguay sekarang, yang hanya mengulangi kesalahan dari PSSI Pratama, Garuda I, Garuda II, Primavera dan Baretti.

Memang ada Danone dan lain-lain membuat turnamen kelompok umur, tapi itu sifatnya temporer dan hura-hura saja. Tidak ada kontribusinya untuk kemajuan sepakbola di Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan bahwa Danone sudah berkiprah dari tahun 2002, berarti sekarang sudah 6 tahun. Artinya juga, jika hasil Danone itu bagus, Tim Indonesia Usia 16 s/d 18 tidak akan jadi bulan-bulanan negara lain dalam turnamen resmi.

Dengan tidak adanya kompetisi yang rutin, ketat dan teratur dari Umur 12 tahun, bagaimana kita bisa memberikan pengalaman tanding secara resmi kepada calon-calon pemain masa depan. Seorang pemain atau calon pemain masa depan itu punya standar minimal kuantitas mereka bertanding resmi secara teratur dan terjadwal.

Contohnya, pertanyaan yang bisa dimunculkan adalah berapa kali Bambang Pamungkas bermain dalam pertandingan resmi dari usia 12 tahun. Belum lagi pertanyaannya berapa gol yang sudah diciptakan, asist yang pernah diberikan, kartu kuning atau kartu merah yang didapat. Dengan tidak ada data itu bagaimana kita bisa menjual pemain keluar negeri? Wajar sekali kalau pemain kita tidak punya nilai jual di luarnegeri, selain karena memang secara kualitas tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Kesimpulan dari paparan diatas adalah : yang dibutuhkan saat ini adalah adanya Kompetisi kelompok umur dari 12 tahun sampai 18 tahun. Mungkin cukup di bagi tiga kelompok umur saja yang memang selama ini sudah ada, yaitu U12, U15 dan U18. Tidak perlu scopenya terlalu besar untuk seluruh Indonesia, dimulai dulu misalnya di DKI Jakarta atau Jabotabek. Dibuat Kompetisi antar SSB yang ada di Jabotabek dengan Kompetisi yang teratur, permanen dan jangka panjang. Bukan turnamen yang 15 hari habis, tapi betul-betul kompetisi yang selesai dalam 1 tahun.

Kemudian dari kompetisi itu direkam database masing-masing anak-anak calon pemain masa depan itu. Sehingga waktu mereka sudah dewasa, mereka punya track record yang bisa digunakan secara profesional.

Jika cara ini dilakukan akan mengatasi beberapa kendala selama ini ada yaitu :
1. Pemain Indonesia masa depan akan lahir dari kompetisi yang ketat, bukan pemain yang instant.
2. Pemilihan pemain nasional akan lebih fair karena dipilih dari hasil kompetisi dan publik melihatnya. Tidak asal comot berdasarkan rekomendasi dari sana-sini.
3. Pemain yg lahir akan merupakan pilihan terbaik termasuk dari segi mental dan kelakuan. Karena persaingan yang ketat, maka mereka tidak manja dan bertingkah yang aneh-aneh seperti sekarang.
4. Akan ada data pemain yang akurat yang ini bisa dimanfaatkan oleh klub-klub profesional untuk merekrut pemain dan juga berguna bagi jurnalist untuk memperkaya liputan.
5. Dengan kompetisi ini, selain melahirkan pemain, juga pendukung lainnya akan menjadi terasah kemampuannya, yakni para wasit dan pelatih. Wasit punya banyak jam terbang memimpin sehingga dari Kompetisi kelompok umur/usia muda ini akan muncul wasit-wasit yang baik untuk Liga profesional. Begitu juga dengan pelatih. Akan muncul pelatih yang berpengalaman bukan pelatih yang karbitan yang terpilih hanya karena kedekatan dengan Pengurus.
6. Keterlibatan sponsor akan lebih solit karena ada kepastian produk mereka akan sukses dengan mensponsori kompetisi.
7. Pemborosan dana yang dilakukan selama ini dengan mengirim tim keluar negeri dapat ditekan, dan uang yang beredar hanya di dalam negeri. Ini juga berguna untuk ketahanan perekonomian nasional.
8. Suistainability dari pembinaan akan terjaga. Setiap tahun kita pasti akan melahirkan pemain dari semua kelompok Umur dan juga untuk pemain Senior di atas 18 Tahun.
9. Kita akan menghasilkan ratusan bahkan ribuan pemain potensial, dari ribuan itu, tersaring lagi ratusan yang benar-benar siap pakai yang bisa langsung dimanfaatkan oleh Tim/klub di Liga Indonesia bahkan di Liga-liga negara tetangga.

Untuk konsep Kompetisi ini sendiri sudah ada, dan terbuka untuk didiskusikan. Jika ada pencinta sepakbola yang peduli dengan sepakbola Indonesia masa depan, kita bisa memulainya, dan setelah 2 kali Olimpiade ke depan, kita sudah punya Timnas U23 yang bisa diandalkan yang pemainnya sudah ditempa selama lebih dari 8 tahun berkompetisi yang ketat.

Jika ini tidak berhasil juga, berarti Teori yang mengatakan bahwa Kompetisi adalah sistem pembinaan yang paling sempurna, patut dipertanyakan.

Sumber: fans.bolanews.com
Read More...

The Theatre of Dream

As a club with a long tradition and great achievements, Manchester United did have a class of its own in world football scene. They are a magnificent stadium, Old Trafford, the club's greatness is born in 1878. Standing gracefully on the banks of the River Irwell, Old Trafford was a dream theater.

Opened in 1910 by taking the total cost 60 000 pounds, Old Trafford continues to grow as a stadium with a class of its own. The stadium, designed by Scottish architect Archibald Leitch had never experienced the destruction during World War II. For three years, between 1946 to 1949, United moved to Maine Road, Manchester City cage.

But after re-opened in 1949, Old Trafford continues to reap the glory times. As the stadium, Old Trafford golden era began in 2000, or the year after Sir Alex Ferguson and Roy Keane treble titles offered for the first time. To cost 30 million pounds, Old Trafford continues to enhance its capacity to about 68,000 seats, plus a number of suites to appreciate the services of his hero.

2005, Red Devil's management to spend money again, unmitigated, 45 million pounds. In addition to increase seating capacity to 76 212, funds for 5000 were used to build an exclusive seat at the three north side to serve the sponsors. On the north side of that, just above the museum which records the history of United's greatness, stood Platinum Lounge, the most prestigious suite at Old Trafford. As the name Platinum, an area of approximately 500 square meters were reserved for United's main sponsors, who pay nearly 50 percent of the club's financial needs.

Platinum Lounge is filled with representatives from leading companies: Air Asia, Nike, Audi, AIG, Budweiser, Tourism Malaysia, Betfred, Century Radio, Viagogo ticket agents, and property company Royal Resort.
Old Trafford important shrines like English football. Although later appeared good stadiums like Wembley, but the historical value and prestige of Old Trafford was never gone. Conversely, the stadium had more charisma. The atmosphere is even more magical and exciting. In England, the audience singing at Old Trafford's most tightly. Measured strength exceeds even the roar of the Jumbo Jet's aircraft takeoff.

Soccer event at the stadium was like a theater play featuring multidimensional. There were songs, dances, and various elements of other arts, including drama of football. Therefore, the Manchester United legend Sir Bobby Charlton to call the stadium as The Theatre of Dreams. This stadium is always present great drama in almost every game. Football dreams soar and raging in this arena. For the Manchester United, Old Trafford like a dream theater. Therefore, Bobby Charlton called the theater of dreams.

Old Trafford Fact:
Official Name: Old Trafford Stadium
Nickname: The Theatre of Dreams
Built: 1909
Opened: February 18, 1910
Address: Sir Matt Busby Way, Old Trafford, Manchester M16 0RA
Phone: +44 (0) 161 868 8000
Fax: +44 (0) 161 868 8868
Capacity: 76 121
Record crowd: 76 962, Grimsby vs Wolverhamton (25 March 1939)
Power of lamp: 2500
Field Size: 110 X 67 meters
Status: five stars
Architect: Archibald Leitch

Capacity development:
1910-1939: 80,000
1945-1960: 67 000
1960-1974: 65 000
1975-1980: 60,000
1980-1988: 58 000
1988-1990: 48 000
1990-1994: 45,000
1994-1996: 43 000
1996-1999: 55 000
2000-2001: 61 000
2001-2005: 68 000
2006 -.... : 76 212

Subtleties unique Old Trafford:
• Stadium appeared in the film's most lots, among them the Hell Is a City (1960), Billy Liar (1963), and Charlie Bubbles (1968).
• The first stadium to build a security fence in anticipation of hooliganism in the 1970s.
• From April until November, Old Trafford cut the grass three times a week. December until March cut once a week.
• Below ground installations are 10-inch plastic pipe that supplies hot water to melt the snow that fell onto the grass.
Referensi: http://www.unitedindonesia.org/forum/showthread.php?t=410
Read More...

Thursday, May 13, 2010

Pemain Asing Liga Indonesia

Sebrapa besar pengaruh pemain asing untuk Liga Indonesia menurut anda? mengapa tim LIga Indonesia lebih memilih pemain asing? ssebuah pukulan berat bagi sepakbola indonesia yang lebih memilih pemain & pelatih asing. Seperti kita ketahui bahwa tim liga indonesia seringkali mempunyai masalah financial, sudah menjadi hal yang tidak asing lagi bagi kita mendengar peserta Liga Indonesia dengan masalah finansial. Sampai kapan tim kita selalu membuang duitnya untuk pemain asing? liatlah tim luar negeri mereka membeli pemain sejak usia belia walaupun tidak semua tim melakukannya , contohnya barca yang membeli leo messi sejak umur 14 tahun sampai sekarang messi sudah memberikan banyak gelar bagi barca. Harusnya kita patut meniru apa yang dilakukan oleh barca. liat tim indonesia membeli pemain asing dengan harga mahal namun kontribusi yang diberikan tidak sepadan dengan duit yang sudah mereka keluarkan.
Hanya beberapa pemain asing yang bisa memberikan kontribusi maksimal walaupun korbannya adalah pemain muda kita. Banyak pemain asing yang membuat ulah, berantem, dan umur mereka sudah memasuki masa pensiun tapi tetap dipertahankan oleh tim. Truz, gmn dengan nasib pemain muda kita? sangat jarang pemain yang masih berusia 19 tahun kebawah yang menjadi starter, mereka hanya sebagai pelengkap di bangku cadangan. Harusnya tim sadar dengan ada masalah finansial yang mereka hadapi untuk tidak berkonsentrasi & berpikir bagaimana caranya membeli pemain asing. Mulailah dengan memanfaatkan pemain2 muda Garuda, apakah tidak bangga apabila pemain muda kita menjadi starter line up di setiap pertandingan? pasti pemain muda kita akan memiliki pengalaman dan jam terbang yang tinggi sehingga mental & skill mereka semakin matang. Ini adalah sebuah motivasi agar tim2 indonesia sadar akan kondisi yang dialami oleh timnya, jangan terlalu fokus untuk menggunakan pemain asing karena kita mengtahui sangat sulit memperoleh dana dari sponsor luar. Sebagian besar tim kita mendapatkan dana dari dana APBD. Maju truz sepakbola Indonesia, bikin kita bangga punya liga & timnas yang kuat & berprestasi.. Garuda didadaku....

Read More...

Fair Play

Apa yang menjadi pertanyaan ketika melihat pertandingan sepakbola kemudian ada beberapa anak2 yang membawa bendera My Game is Fair Play ditengah lapangan sebelum pertandingan dimulai sembari menunggu para gladiator lapangan hijau menyanyikan nasional anthem. itu adala bendera Fair Play, yang merupakan sari pati dari sebuah pertandingan sepakbola. Menurut Om wiki, Fair Play adalah nama sebuah program FIFA yang bertujuan untuk meningkatkan sportivitas serta mencegah diskriminasi dalam permainan sepak bola. Ini juga melibatkan program-program untuk mengurangi rasisme dalam permainan. Program meluas ke luar sepak bola, dalam usaha untuk mendukung organisasi amal dan lainnya yang memperbaiki kondisi di seluruh dunia.
Ya, dalam setiap pertandingan harus ada yang namanya Fair Play untuk menjadikan sebuah pertandingan sepakbola atau pertandingan lainnya semakin indah. Prinsip2 Fair Play adalah
1. Menang itu memang penting, asal kita mematuhi peraturan
2. Menang atau kalah dalam olahraga, semuanya serba mungkin
3. Menang atau kalah itu adalah konsekuensi, yang terpenting main dengan sportivitas tinggi.
4. Yang terpenting dalam olahraga bukan menang atau kalah tetapi keikutsertaan dan bertanding dg semangat olahragwan sejati.

Sehingga olahraga memiliki kualitas kemanusiaan, Setiap pemain dan oknum yang terlibat dalam sebuah kompetisi harus Fair Play tidak melakukan anarkis dan rasis kepada terhadap pihak2 yang terlibat seperti wasit, pemain, maupun suporter. Apakah di pagelaran liga indonesia sudah Fair Play? anda bisa menjawabnya sendiri, disaat FIFA dan organisasi didunia beramai2 melakukan kampanye Fair Play di persepakbolaan kita msh ada saja tindakan yang tidak menunjukkan sikap Fair Play seperti: tim kandang harus selalu menang, yel2 suporter yang berbau rasis, keputusan wasit yang seringkali kontroversial. Ada beberapa suporter dan tim yang sering sudah menunjukkan sikap Fair Play, tapi anehnyg mereka malah dijadikan bahan ejekan dari suporter lainnya. Apa yang terjadi sebenarnya, sepakbola sudah menjadi kiblat, football industri bahkan negara2 di Eropa menjadikan sepakbola sebagai Agama. Marilah bersikap Fair Play dalam setiap pertandingan sehingga enak ditonton, para suporter juga bisa tenang nonton dan tidak manyanyikan lagu2 yang berbau rasis.
Emosi memang salah satu elemen terpenting olah raga, termasuk sepak bola. Namun, apa jadinya jika emosi ditumpahkan berlebihan? Pasti akan merusak citra sportivitas dan fair play permainan. Kampanye antirasis menjadi misi utama organisasi sepak bola internasional beberapa tahun terakhir. Yang paling terkenal tentu saja slogan, "Let's Kick Racism Out of Football". Ya, sikap rasisme memang selayaknya dibuang jauh-jauh dari sepak bola.Di Indonesia, masih kerap terjadi hal-hal berbau rasis. Sikap tidak fair kelompok suporter dan provokasi rasisme masih banyak ditunjukkan oleh suporter ataupun pemain, yang berbuntut kerusuhan massal dan sanksi berat. Sanksi tindakan rasisme jelas tertuang dalam aturan FIFA, AFC, dan PSSI. Yang pasti, ulah negatif sekecil apa pun dari segelintir oknum suporter menjadi tanggung jawab klub yang menaungi kelompok tersebut. Aksi rasisme marak di Indonesia dua tahun terakhir. Hal ini mencoreng nama Indonesia, yang dikenal sebagai tempat yang membiarkan rasisme terjadi.
Referensi:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/18/15193325/Fair.Play
http://arifudin.net/fair-play/
Read More...

Tuesday, May 11, 2010

Tragedi Munich

SORE, Langit Kota Munich begitu gelap. Salju terus turun membuat pandangan mata terasa kabur, sementara hawa begitu dingin. Sesekali angin besar memainkan butiran salju hingga berhamburan ke mana-mana.
Meski begitu, suasana pesawat Elisabeth riang dan bahagia oleh canda dan tawa tim Manchester United. Tim yang saat itu dilatih tokoh legendaris Matt Busby, baru saja menahan Red Star Belgrade 3-3, sekaligus lolos ke semifinal Liga Champions.
Ini memang masa keemasan MU yang dijuluki Busby Babes. Mereka punya permainan memuka dan juara Liga Inggris pada 1956 dan 1957. Bahkan, banyak yang menilai MU berpeluang menjuarai Liga Champions.
Mereka berada di Bandara Munich-Riem, karena pesawatnya melakukan transit dan pengisian bahan bakar. Bayangan bakal disambut bak pahlawan sudah menggantung di pikiran para pemain Setan Merah. Lolos ke semifinal adalah pengalaman pertama tim itu. Dan, jarak Munich ke Manchester hanya beberapa jam saja dengan pesawat.
Setelah segalanya beres, pesawat milik British European Airways (BEA) itu pun kembali melakukan take-off. Percobaan pertama gagal. Yang kedua juga demikian, karena masalah mesin. Setelah dilakukan serangkaian perbaikan, kapten pilot James Thain pun mencoba melakukan take-off ketiga.
Agak berhasil. Pesawat seolah akan terbang normal pada pukul 15.04 waktu Munich. Namun, pesawat itu ternyata gagal mencapai ketinggian optimal untuk terbang ke udara.
Blaaast! Tiba-tiba pesawat belangsatan, dan terjatuh menimpa rumah penduduk. Tubuh burung besi yang membawa 44 penumpang - termasuk tim MU - itu pun terguling-guling dan hancur.
Tujuh pemain MU - Geoff Bent, Roger Byrne, Eddie Colman, Mark Jones, David Pegg, Tommy Taylor, Liam 'Billy' Whelan - tewas seketika. Sedangkan Duncan Edwards meninggal di rumah sakit pada 21 Februari. Sebanyak 15 penumpang lainnya, termasuk wartawan dan ofisial MU, ikut meninggal.
Pelatih Matt Busby sedniri terluka parah. Dia harus dirawat di rumah sakit selama dua bulan. Karena itu, sempat ada kekhawatiran Liga Champions 1958 akan dibatalkan, karena salah satu semifinalis sedang berduka.
Namun, Setan Merah tetap siap meneruskan kompetisi dengan pemain yang tersisa dan para pemain cadangan. Mereka yang selamat dari bencana itu adalah Johnny Berry, Jackie Blanchflower, Dennis Viollet, Ray Wood, Bobby Charlton, Bill Foulkes, Harry Gregg, Kenny Morgans dan Albert Scanlon. Sedangkan asisten pelatih Jimmy Murphy, menggantikan Matt Busby untuk sementara.
Dengan tim yang kurang lengkap,MU tampil memukau di semifinal. Tapi, mereka kurang cukup modal untuk meladeni AC Milan dan akhirnya tersingkir.
Itu menjadi bencana paling kelam dalam sejarah MU. Maka, MU selalu mengenangnya. Dan, 6 Februari 2008 lalu adalah tepat 50 tahun bencana yang sering disebut Tragedi Munich itu.
Itu juga menjadi tragedi nasional bagi Inggris. Maka, pada pertandingan persahabatan antara timnas Inggris lawan Swiss di Wembley, 6 Februari 2008, semua pemain menyempatkan hening sejenak mengenang para korban kecelakaan itu, sekaligus mengirim doa.
Namun, kontroversi sempat merebak kala MU melawan rival sekota Manchester City pada 10 Februari 2008. MU meminta semua hening semenit untuk mengenang tragedi itu, tapi sebagian suporter Man. City menolak dan mengancam akan mengganggu.6 Februari 1958.
Yang pasti, tragedi itu menjadi mimpi terburuk MU. Maka, klub itu membuat acara meriah pada peringatan 50 tahun Tragedi Munich. Gambar tim Busby Babes menghiasi Stadion Old Trafford. Berbagai selamatan juga dilakukan.
Para korban tewas
Kru pesawat

* Kaptain Kenneth "Ken" Rayment, kopilot (selamat dari kejadian tetapi mengalami cedera parah dan meninggal tiga minggu setelahnya di rumah sakit setelah mengalami gegar otak)
* Tom Cable, pramugara

Penumpang
Sebuah plakat memorial di Old Trafford untuk mengenang tragedi ini
Jam Munich, di sudut tenggara di Old Trafford

Pemain Manchester United

* Geoff Bent
* Roger Byrne
* Eddie Colman
* Duncan Edwards (selamat dari kecelakaan, tapi meninggal 15 hari kemudian)
* Mark Jones
* David Pegg
* Tommy Taylor
* Liam "Billy" Whelan

Staf Manchester United

* Walter Crickmer, sekretari klub
* Tom Curry, trainer
* Bert Whalley, kepala pelatih

Wartawan dan Jurnalis

* Alf Clarke, Manchester Evening Chronicle
* Donny Davies, Manchester Guardian
* George Follows, Daily Herald
* Tom Jackson, Manchester Evening News
* Archie Ledbrooke, Daily Mirror
* Henry Rose, Daily Express
* Frank Swift, News of the World (juga mantan kiper Inggris dan Manchester City; meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit)
* Eric Thompson, Daily Mail

Penumpang lain

* Bela Miklos, agen perjalanan
* Willie Satinoff, supporter, dan teman dekat Matt Busby

http://bola.kompas.com/read/xml/2008/02/12/03155035/tragedi.munich.mimpi.buruk.setan.merah
Read More...

Monday, May 10, 2010

Cerita Syamsir Alam


Kegagalan menembus skuad junior Vitesse Arnhem dan Heerenveen di Belanda tidak membuat Syamsir Alam menyerah. Selanjutnya, ia menjadi tulang punggung timnas U-17.
Kegagalan demi kegagalan yang dipetik tim nasional senior Indonesia, mungkin membuat kita bertanya-tanya, apakah kita harus mengalihkan harapan terhadap pemain-pemain muda Indonesia? Saat ini, eks timnas U-16 Indonesia sedang belajar ke Montevideo, untuk program pembinaan dan peningkatan fisik pemain di bawah asuhan pelatih Cesar Payovich Perez asal Uruguay.

Mereka diberi nama S.A.D. Indonesia (singkatan dari Sociedad Anónima Deportiva), dan berlaga dalam Quinta Division, tepatnya di Liga U-17 Uruguay. Bintangnya adalah Syamsir Alam, striker yang sudah mengemas 15 gol dari 29 laga yang dilakoninya selama dua putaran Liga U-17 Uruguay. Wajar saja jika anak pertama dari pasangan Edinas Sikumbang dan Yuliana Hotnida ini disebut sebagai tulang punggung timnas U-17, sekaligus masa depan sepakbola nasional.
Alam menyimpan banyak cerita dari Montevideo. Pemain kelahiran 6 Juli 1992 itu untuk sementara ini pulang ke rumahnya di Bintaro, Tangerang, dan kian tak sabar untuk merumput lagi. Berikut ini oleh-oleh Uruguay yang pertama dari Alam, eksklusif untuk pembaca GOAL.com Indonesia.


Salam jumpa.

Sudah sebulan ini saya kembali di Jakarta, setelah hampir
setahun lamanya latihan dan ikut kompetisi di Uruguay. Senang bisa melepas rasa homesick yang sudah kami rasakan sejak pertengahan tahun di Montevideo. Sedihnya saya tidak bisa lagi bertemu Om Ronny Pattinasarani yang meninggal dunia. Terakhir di Surabaya sebelum berangkat ke Montevideo, saya pernah berpesan agar Om Ronny mengurangi minum kopi dan rokoknya, tapi kena juga. Begitu juga dengan Om Iswadi Idris yang dulu melepas kami. Sambil menangis beliau waktu itu meminta kami mendoakan Om Ronny yang pergi berobat ke Cina, ternyata malah Om Is yang wafat duluan. Mungkin Tuhan punya rencana lain buat mereka...
Selama di Uruguay, tak banyak kendala yang kami rasakan. Mungkin soal bahasa, plus nasi mereka yang lembek banget seperti bubur. Beda dengan timnas Primavera atau Baretti dulu, tim yang dikirim sekarang bertujuan mencetak pemain. Uruguay juga bukan tujuan yang buruk. Diam-diam banyak scout Eropa yang datang menonton pertandingan Quinta Division, nama kompetisi tempat kami bertanding. Jati diri mereka sulit diketahui. Tidak ada pakaian mentereng, mereka ngegembel saja...
Proses perekrutan pemain berbakat juga tidak berbelit-belit. Ada satu orang bek yang pernah menjaga saya, seminggu kemudian dia sudah terbang ke Chelsea...
Di Uruguay, banyak hal baru yang dapat dipelajari tentang sepakbola. Kita tidak kalah jauh dari mereka, tapi soal mental dan kemauan mereka sangat jauh lebih dari kita.
Saya mulai terbiasa jauh dari keluarga. Maklum, bisa dibilang saya "bolang" -- bocah petualang. Tapi, itu ujian untuk saya agar meraih sukses dan saya harus bisa melewati semua itu. Terima kasih khusus kepada keluarga buat segala dukungannya. Walaupun saya belum menjadi apa-apa, tapi saya percaya akan membuat kalian bangga. Terutama Papa dan Mama yang saya yakin tidak berhenti berdoa untuk anaknya. Terima kasih juga buat om di Depok dan Uning atas dukungan dan doanya. Insya Allah saya menepati janji untuk main di Eropa.
Saya sangat menyesal gagal memikat dan menembus tim salah satu negara raksasa sepakbola tersebut [Vitesse Arnhem dan Heerenveen junior di Belanda]. Tapi kalau harus terlena dengan penyesalan, saya takkan maju. Mungkin memang saya masih kurang ilmu dan harus lebih banyak belajar agar bisa bermain di kancah internasional.

Dan, yang pasti saya tak sabar ingin segera kembali ke Uruguay...

Terima kasih dan sampai jumpa lagi di edisi berikutnya.

Salam,

*Syamsir Alam
sumber www.goal.com
Read More...

Sunday, May 09, 2010

Sejarah Adu Penalti

Adu penalti, atau lebih tepat disebut "adu tendangan penalti", merupakan cara yang sekarang sering dipakai untuk menentukan pemenang dalam pertandingan sepak bola yang harus diakhiri dengan kemenangan/kekalahan (tidak bisa seri). Adu penalti dilakukan setelah pertandingan berlangsung 90 menit dan dilanjutkan dengan 2 kali 15 menit perpanjangan waktu namun keadaan masih seri. Walaupun pelaksanaannya mirip, adu penalti dilakukan mengikuti peraturan yang berbeda dari tendangan penalti. Hasil dari adu penalti tidak dimasukkan dalam perhitungan skor (jadi keadaan tetap seri), ia hanya digunakan untuk menentukan pemenang.

Sejarah....
Konon adu penalti pertama kali diusulkan oleh seorang wasit dari Penzberg, Bavaria, Jerman yang bernama Karl Wald pada tahun 1970. Pada saat itu, jika keadaan seri setelah perpanjangan waktu pemenang ditentukan dengan undian menggunakan koin. Karena menganggap cara ini sangat untung-untungan, ia mengusulkan adu penalti kepada ketua persatuan sepak bola Bavaria. Usul ini pertama kali ditolak namun setelah dilobi oleh tim pengusul, baru usulan ini diterima.

Setelah diteruskan ke Persatuan Sepakbola Jerman (DFB) dan diterima, segera kemudian aturan ini diterapkan pula di UEFA dan Fédération Internationale de Football Association. Klaim lain mengatakan bahwa adu penalti diusulkan pertama kali di Inggris dan juga di Israel.

Adu penalti pertama kali dilakukan di Inggris pada tahun 1970 antara Hull City dan Manchester United dalam Watney Cup (piala liga di Inggris) dan dimenangi Manchester United. Penentuan kejuaraan internasional besar yang pertama kali ditentukan dengan adu penalti adalah pada final Euro 1976, yaitu Cekoslovakia melawan Jerman Barat. Cekoslovakia menang dengan 5-3.

Tiga final Kejuaraan Dunia Sepakbola FIFA tercatat harus diselesaikan dengan adu penalti : final Piala Dunia 1994 di Stadion "Rose Bowl" Pasadena, Kalifornia, AS antara Brasil dan Italia (dimenangi oleh Brasil dengan 3-2); final Piala Dunia Putri 1999 di stadion yang sama antara tim AS dan Tiongkok (AS menang dengan 5-4), dan final Piala Dunia FIFA 2006 di Stadion Olimpiade Berlin, Jerman, yang dimenangi oleh Italia dengan menundukkan Prancis 5-3 setelah keadaan imbang 1-1 hingga perpanjangan waktu usai.
Sumber:http://aku-dan-mimpiku.blogspot.com/
Read More...

Saturday, May 08, 2010

Total Football

Total Football adalah sistem permainan sepakbola yang paling menarik. Tetapi memahami Total Football ternyata tidak segampang yang saya duga. Berulangkali membaca berbagai literatur dan artikel sepakbola, susah menemukan penjelasan mengapa dan bagaimana Total Football muncul. Hanya dengan memahami mengapa dan bagaimana, kita bisa memahami esensi sesuatu.

Yang standar tentu saja kita tahu bahwa sistem ini pertama kali muncul di Belanda dengan permainan bertumpu pada fleksibilitas pertukaran posisi pemain yang mulus. Posisi pemain sekadar kesementaraan yang akan terus berubah sesuai kebutuhan. Karenanya, semua pemain dituntut untuk nyaman bermain di semua posisi.
Penjelasan paling memuaskan malah bukan saya dapat dari orang Belanda, melainkan seorang penulis Inggris yang tergila-gila dengan sepakbola Belanda. David Winner menulis buku yang kalau diterjemahkan bebas kira-kira berjudul, "Oranye Brilian -- Jenius dan Gilanya Sepakbola Belanda".

Orang Belanda sendiri sampai terkagum-kagum dan mengatakan, ''Ah, jadi begitukah cara berpikir kami.'' Banyak pemain bola Belanda seperti tersadarkan pada sosok yang berada di dalam kaca ketika mereka bercermin.

Winner tidak membahas sepakbola semata. Menurutnya Total Football hanyalah pengejawantahan ''psyche'' paling dasar warga Belanda dalam memahami kehidupan. Benang merah Total Football juga ada dalam karya seni, arsitektur, dan bahkan tatanan sosial budaya masyarakat Belanda.

Berlebihan? Mungkin. Namun penjelasannya sungguh masuk akal.

Kita semua tahu ukuran lapangan sepakbola lebih kurang sama di mana-mana, sehingga ruang permainan selalu sebenarnya sama. Tapi orang Belanda sadar bahwa ruang juga adalah persoalan abstrak di dalam kepala. Membesar dan mengecilnya ruang tergantung pada cara mengeksploitasinya.

Total Football, demikian jelas buku itu, adalah persoalan ruang dan eksploitasinya itu, bukan yang lain. Fleksibilitas posisi pemain, pergerakan pemain, semuanya adalah konsekuensi dari upaya untuk menciptakan ruang agar bisa dieksploitir semaksimal mungkin.

Prinsip dasarnya sebenarnya sangat sederhana. Besar kecilnya lapangan sepakbola walau ukurannya sama, tetapi di benak bisa berubah tergantung siapa yang bermain di dalamnya.

Misalnya, begitu pemain Belanda menguasai bola maka mereka akan membuat lapangan seluas mungkin. Pemain bergerak ke setiap jengkal ruang yang tersedia. Di benak lawan lapangan akan tampak begitu lebar.

Atau, begitu lawan menguasai bola, ruang harus dibuat sesempit mungkin. Pemain yang terdekat dengan pemain lawan yang menguasai bola dituntut untuk menutupnya secepat mungkin, tidak peduli apakah itu pemain bertahan atau bukan. Bisa satu bisa dua, bahkan tiga. Tekanan harus dilakukan secepat mungkin bahkan ketika bola masih ada di jantung pertahanan lawan. Lawan terjepit dalam benak bahwa lapangan begitu sempit.

Memperlebar atau mempersempit ruangan di benak lawan tentu bukan barang mudah. Harus ada kemampuan untuk mencari ruangan. Pergerakan yang kompak. Cara mengumpan bola yang eksploitatif atas ruang yang tersedia, entah melengkung, lurus, melambung, dll. Pendeknya dibutuhkan pemahaman geometri ruangan yang tidak sederhana.

Persoalannya adalah, mengapa hal ini tidak terpikirkan oleh orang lain sebelumnya? Dan mengapa orang Belanda yang bisa melakukannya?

Jawabnya, menurut buku itu, didapat dari kondisi alam Belanda.

Bangsa Belanda secara intrinsik bangsa yang spatial neurotic (tergila-gila oleh ruangan ataupun pemanfaatannya). Kondisi alam memaksa mereka demikian. Lima puluh persen tanahnya berada di bawah permukaan laut. Sementara sisanya terlalu sempit untuk jumlah penduduk yang berjubel.

Terus menerus bangsa ini melakukan reklamasi untuk memperluas daratan. Dengan sadar persoalan tanah mereka atur dengan sangat disiplin dan ketat. Eksistensi bangsa ini tergantung bagaimana mereka merawat tanah yang tak seberapa mereka punya. Kanal, selokan air, bendungan kecil dan besar, teratur rapi membelah setiap jengkal tanah yang mereka punya.

Belanda hingga saat ini adalah negara paling padat dalam ukuran per meter persegi, dan pengaturan tanahnya adalah yang paling teratur di muka bumi.

Namun seberapa pun mereka mencoba, seberapa pun disiplinnya, tanah tidak akan pernah cukup tersedia.

Lalu apa yang dilakukan?

Jawabnya ada di daya khayal, di benak, di alam abstraksi. Di samping secara fisik mereka mencoba memperluas wilayah darat mereka, mereka juga menciptakan ruang yang luas dialam khayal mereka.

Kalau Anda kebetulan datang ke Eropa, bandingkanlah tata kota Belanda dengan negara lain. Kita akan segera sadar bahwa Belanda memang lebih sempit tapi tata kotanya dibuat sedemikian rupa rapi, sehingga terasa sangat longgar. Dibanding negara manapun di dunia, tata kota di Belanda adalah yang paling kompak di dunia.

Arsitektur bangunannya, baik yang tua maupun modern, terasa sangat inovatif, dengan sudut yang sering tidak normal, bentuk bangunan yang tidak umum, aneh, tetapi kesannya selalu sama—longgar dan lapang. Karena semua lekuk ketidaknormalan adalah bagian dari upaya untuk menciptakan ruang tambahan di alam khayal tadi.

Bahkan benak juga dilonggarkan untuk urusan norma sosial. Kalau etika Protestan semarak di Belanda di awal kelahirannya, sangatlah bisa dimengerti. Mereka secara instingtif akan memberontak terhadap segala sesuatu yang sifatnya mengukung. Dalam kasus kelahiran Protestan tentu saja pemberontakan atas kungkungan ajaran Katolik saat itu.

Proses itu terus berlanjut hingga sekarang. Kita tahu norma sosial Belanda adalah yang paling longgar di Eropa. Kelonggaran yang tetap diatur. Misalnya, mainlah ke Vondell Park di Amsterdam, bolehlah Anda menghisap ganja atau mariyuana dengan santai. Padahal di negara lain sembunyi-sembunyi pun Anda tidak boleh.

Jejak-jejak spatial neurotic ini bisa kita temukan dengan mudah di karya-karya seni mereka bahkan di kehidupan politik, tetapi kembali ke persoalan sepakbola, mentalitas pemain sepakbola juga sama persis. Ketika mereka turun ke lapangan, benak mereka selalu bermain-main dengan keinginan untuk menciptakan ruangan selonggar mungkin, lalu mengeksploitasinya.

Ketika Rinus Michel membawa Ajax menjadi juara Piala Champions tahun 1971, Eropa tersadarkan sebuah sistem baru yang mulai sempurna telah lahir. Sistem yang lahir dari psyche orang Belanda yang tergila-gila dengan ruang dan pemanfaatannya. Dan ketika Michel membawa Belanda ke final Piala Dunia 1974 lahirlah istilah Total Football.

Total Football sendiri sebenarnya meminjam penamaannya dari gerakan sosial yang digagas para arsitek-filosof terkemuka Belanda sekitar tahun 1970-an. Sebuah gerakan bernama Total. Memahami kehidupan perkotaan secara menyeluruh: mengatur urbanisasi, lingkungan, dan pemanfaatan energi dalam satu totalitas. Agar ruang yang tersedia di Belanda bisa termanfaatkan secara maksimal. Dan sepakbola adalah sebuah hiburan bagian dari pendekatan yang menyeluruh itu.
Sumber: http://www.detiksport.com/sepakbola/read/2009/03/02/134622/1092825/425/totalitas-total-football
Read More...

Total Football

Total Football adalah sistem permainan sepakbola yang paling menarik. Tetapi memahami Total Football ternyata tidak segampang yang saya duga. Berulangkali membaca berbagai literatur dan artikel sepakbola, susah menemukan penjelasan mengapa dan bagaimana Total Football muncul. Hanya dengan memahami mengapa dan bagaimana, kita bisa memahami esensi sesuatu.

Yang standar tentu saja kita tahu bahwa sistem ini pertama kali muncul di Belanda dengan permainan bertumpu pada fleksibilitas pertukaran posisi pemain yang mulus. Posisi pemain sekadar kesementaraan yang akan terus berubah sesuai kebutuhan. Karenanya, semua pemain dituntut untuk nyaman bermain di semua posisi.
Penjelasan paling memuaskan malah bukan saya dapat dari orang Belanda, melainkan seorang penulis Inggris yang tergila-gila dengan sepakbola Belanda. David Winner menulis buku yang kalau diterjemahkan bebas kira-kira berjudul, "Oranye Brilian -- Jenius dan Gilanya Sepakbola Belanda".

Orang Belanda sendiri sampai terkagum-kagum dan mengatakan, ''Ah, jadi begitukah cara berpikir kami.'' Banyak pemain bola Belanda seperti tersadarkan pada sosok yang berada di dalam kaca ketika mereka bercermin.

Winner tidak membahas sepakbola semata. Menurutnya Total Football hanyalah pengejawantahan ''psyche'' paling dasar warga Belanda dalam memahami kehidupan. Benang merah Total Football juga ada dalam karya seni, arsitektur, dan bahkan tatanan sosial budaya masyarakat Belanda.

Berlebihan? Mungkin. Namun penjelasannya sungguh masuk akal.

Kita semua tahu ukuran lapangan sepakbola lebih kurang sama di mana-mana, sehingga ruang permainan selalu sebenarnya sama. Tapi orang Belanda sadar bahwa ruang juga adalah persoalan abstrak di dalam kepala. Membesar dan mengecilnya ruang tergantung pada cara mengeksploitasinya.

Total Football, demikian jelas buku itu, adalah persoalan ruang dan eksploitasinya itu, bukan yang lain. Fleksibilitas posisi pemain, pergerakan pemain, semuanya adalah konsekuensi dari upaya untuk menciptakan ruang agar bisa dieksploitir semaksimal mungkin.

Prinsip dasarnya sebenarnya sangat sederhana. Besar kecilnya lapangan sepakbola walau ukurannya sama, tetapi di benak bisa berubah tergantung siapa yang bermain di dalamnya.

Misalnya, begitu pemain Belanda menguasai bola maka mereka akan membuat lapangan seluas mungkin. Pemain bergerak ke setiap jengkal ruang yang tersedia. Di benak lawan lapangan akan tampak begitu lebar.

Atau, begitu lawan menguasai bola, ruang harus dibuat sesempit mungkin. Pemain yang terdekat dengan pemain lawan yang menguasai bola dituntut untuk menutupnya secepat mungkin, tidak peduli apakah itu pemain bertahan atau bukan. Bisa satu bisa dua, bahkan tiga. Tekanan harus dilakukan secepat mungkin bahkan ketika bola masih ada di jantung pertahanan lawan. Lawan terjepit dalam benak bahwa lapangan begitu sempit.

Memperlebar atau mempersempit ruangan di benak lawan tentu bukan barang mudah. Harus ada kemampuan untuk mencari ruangan. Pergerakan yang kompak. Cara mengumpan bola yang eksploitatif atas ruang yang tersedia, entah melengkung, lurus, melambung, dll. Pendeknya dibutuhkan pemahaman geometri ruangan yang tidak sederhana.

Persoalannya adalah, mengapa hal ini tidak terpikirkan oleh orang lain sebelumnya? Dan mengapa orang Belanda yang bisa melakukannya?

Jawabnya, menurut buku itu, didapat dari kondisi alam Belanda.

Bangsa Belanda secara intrinsik bangsa yang spatial neurotic (tergila-gila oleh ruangan ataupun pemanfaatannya). Kondisi alam memaksa mereka demikian. Lima puluh persen tanahnya berada di bawah permukaan laut. Sementara sisanya terlalu sempit untuk jumlah penduduk yang berjubel.

Terus menerus bangsa ini melakukan reklamasi untuk memperluas daratan. Dengan sadar persoalan tanah mereka atur dengan sangat disiplin dan ketat. Eksistensi bangsa ini tergantung bagaimana mereka merawat tanah yang tak seberapa mereka punya. Kanal, selokan air, bendungan kecil dan besar, teratur rapi membelah setiap jengkal tanah yang mereka punya.

Belanda hingga saat ini adalah negara paling padat dalam ukuran per meter persegi, dan pengaturan tanahnya adalah yang paling teratur di muka bumi.

Namun seberapa pun mereka mencoba, seberapa pun disiplinnya, tanah tidak akan pernah cukup tersedia.

Lalu apa yang dilakukan?

Jawabnya ada di daya khayal, di benak, di alam abstraksi. Di samping secara fisik mereka mencoba memperluas wilayah darat mereka, mereka juga menciptakan ruang yang luas dialam khayal mereka.

Kalau Anda kebetulan datang ke Eropa, bandingkanlah tata kota Belanda dengan negara lain. Kita akan segera sadar bahwa Belanda memang lebih sempit tapi tata kotanya dibuat sedemikian rupa rapi, sehingga terasa sangat longgar. Dibanding negara manapun di dunia, tata kota di Belanda adalah yang paling kompak di dunia.

Arsitektur bangunannya, baik yang tua maupun modern, terasa sangat inovatif, dengan sudut yang sering tidak normal, bentuk bangunan yang tidak umum, aneh, tetapi kesannya selalu sama—longgar dan lapang. Karena semua lekuk ketidaknormalan adalah bagian dari upaya untuk menciptakan ruang tambahan di alam khayal tadi.

Bahkan benak juga dilonggarkan untuk urusan norma sosial. Kalau etika Protestan semarak di Belanda di awal kelahirannya, sangatlah bisa dimengerti. Mereka secara instingtif akan memberontak terhadap segala sesuatu yang sifatnya mengukung. Dalam kasus kelahiran Protestan tentu saja pemberontakan atas kungkungan ajaran Katolik saat itu.

Proses itu terus berlanjut hingga sekarang. Kita tahu norma sosial Belanda adalah yang paling longgar di Eropa. Kelonggaran yang tetap diatur. Misalnya, mainlah ke Vondell Park di Amsterdam, bolehlah Anda menghisap ganja atau mariyuana dengan santai. Padahal di negara lain sembunyi-sembunyi pun Anda tidak boleh.

Jejak-jejak spatial neurotic ini bisa kita temukan dengan mudah di karya-karya seni mereka bahkan di kehidupan politik, tetapi kembali ke persoalan sepakbola, mentalitas pemain sepakbola juga sama persis. Ketika mereka turun ke lapangan, benak mereka selalu bermain-main dengan keinginan untuk menciptakan ruangan selonggar mungkin, lalu mengeksploitasinya.

Ketika Rinus Michel membawa Ajax menjadi juara Piala Champions tahun 1971, Eropa tersadarkan sebuah sistem baru yang mulai sempurna telah lahir. Sistem yang lahir dari psyche orang Belanda yang tergila-gila dengan ruang dan pemanfaatannya. Dan ketika Michel membawa Belanda ke final Piala Dunia 1974 lahirlah istilah Total Football.

Total Football sendiri sebenarnya meminjam penamaannya dari gerakan sosial yang digagas para arsitek-filosof terkemuka Belanda sekitar tahun 1970-an. Sebuah gerakan bernama Total. Memahami kehidupan perkotaan secara menyeluruh: mengatur urbanisasi, lingkungan, dan pemanfaatan energi dalam satu totalitas. Agar ruang yang tersedia di Belanda bisa termanfaatkan secara maksimal. Dan sepakbola adalah sebuah hiburan bagian dari pendekatan yang menyeluruh itu.
Sumber: http://www.detiksport.com/sepakbola/read/2009/03/02/134622/1092825/425/totalitas-total-football
Read More...